Laman

بسم الله الرحمان الرحيم Ibnu Mas’ud tentang pengertian Al Jamaah : “Al Jamaah adalah sesuatu yang mencocoki Al Haq walaupun engkau sendiri (yang mengikutinya).” (Riwayat Al Laalikaiy dari Ibnu Mas’ud dalam Kitab As Sunnah dan Abu Syamah dalam Al Ba’its ‘Ala Inkari Bida’ Wal Hawaadits halaman 22 dan Ibnul Qayyim dalam Kitab Ighatsatul Lahfan halaman 1/70)

08 Mei 2010

Rukun Tauhid

jika ditanya juga tentang apa Rukun Laa ilaaha illalloh itu ? Maka jawablah dengan tegas : Laa ilaaha illalloh itu mempunyai dua rukun :

  • Pertama : An-Nafyu (peniadaan / meniadaan), yaitu meniadakan atau meninggalkan seluruh bentuk sesembahan yang di agungkan dan di puja oleh umat manusia selain Allah. Hal ini tercermin dalam lafadz “Laa ilaaha” (Tidak ada sesembahan yang benar),
  • Kedua : Al-Istbaat (Menetapkan), yaitu menetapkan dengan penuh keyakinan bahwa satu- satunya yang berhak di ibadahi atau di sembah hanyalah Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak ada sekutu bagi-Nya. Hal ini tercermin dalam lafadz “illalloh” (kecuali Allah).
Dua rukun tersebut diatas, banyak di sebut-sebut dalam Al-Qur’an, misalnya firman Allah Ta’ala : “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas mana jalan yang benar dan mana jalan yang sesat. Karena itu barang siapa ingkar kepada thoghut (yakni setan atau apa saja yang di sembah selain Allah, ed) dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat (yakni kalimat Laa ilaaha illalloh) yang tidak akan putus, dan Allah Maha Mendengar lagi Maha mengetahui. “(QS. Al-Baqoroh : 256).

Dalam ayat tersebut diatas, firman Allah yang berbunyi “Barang siapa ingkar kepada thoghut” ini adalah makna dari “Laa ilaaha”, sebagai rukun yang pertama. Sedangkan firman Allah “Dan beriman kepada Allah”, ini adalah makna dari “illalloh”, sebagai rukun yang kedua.
Contoh lainnya adalah seperti dalam ucapan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang diabadikan dalam firman Allah : “…….sesungguhnya aku berlepas diri terhadap apa yang kalian sembah, tetapi (aku hanya menyembah) kepada Tuhan yang menjadikanku, karena sesungguhnya Dia yang memberi hidayah kepadaku.” (QS. Az-Zuhruf : 26-27).
Dalam ayat tersebut, firman Allah yang berbunyi “Sesungguhnya aku berlepas diri”, ini adalah makna An-Nafyu (peniadaan), sebagai rukun yang pertama. Sedangkan firman Allah “Tetapi (aku hanyalah menyembah) Tuhan yang menjadikanku”, ini adalah makna Al-Istbaat (penetapan), sebagai rukun yang kedua ! Wallahu a’lam.
Kemudian, apa konsekuensi (tanggung jawab moral) bagi orang yang mengucapkan kalimat tersebut ? Jawabannya pasti, yaitu wajib baginya untuk meninggalkan semua bentuk peribadatan kepada selain Allah, dan hanya beribadah secara murni kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja.

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menyatakan : “Dengan demikian jelaslah, bahwa mengucapkan Laa ilaaha illalloh itu haruslah yakin dengan kewajiban ibadah yang hanya di tujukan kepada Allah Ta’ala saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan mengikrarkannya baik secara lisan maupun keyakinan. Disamping keharusan ibadah kepada Allah saja, tunduk dan taat kepada-Nya juga harus baro’ ( berlepas diri ) kepada selain-Nya dalam hal ibadah, ketaatan dan ketundukan…..”
Walhasil, orang yang telah mengikrarkan kalimat Laa ilaaha illalloh, dia adalah orang yang mantap ibadanya kepada Allah, tidak punya keinginan sedikitpun untuk beribadah kepada selain- Nya. Dan orang seperti ini, akan di jamin masuk surganya Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Rasulullah shollallahu alaihi wa sallam bersabda : “Barang siapa mengucapkan kalimat Laa ilaaha illalloh, lalu mengingkari apa saja yang di sembah selain Allah, maka dia akan masuk surga. “(HR. Muslim, Ahmad dan Thabrani).
Saudaraku muslimin, semoga kita semua di jadikan-Nya termasuk orang-orang yang di sabdakan oleh Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana hadist tersbut diatas.
Wallahu waliyyut taufiq.


Maraji’ :
1. Makna Laa ilaaha illallah, karya syaikh Dr. Sholih Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan
2. At-tauhid, lish Shoffil Awwal Al-‘Aliyya, karya syaikh Dr. Sholih Fauzan
3. Al-Qoulus Sadid fii Adillatit Tauhid, karya syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di.
4. Al-Qaulul Mufid fii Adillatit Tauhid, karya Syaikh Muhammad bin Abdil Ali Al-Washobi.


Sumber :BULETIN DAKWAH AT-TASHFIYYAH, Surabaya Edisi : 10 / Dzulhijjah / 1424