Laman

بسم الله الرحمان الرحيم Ibnu Mas’ud tentang pengertian Al Jamaah : “Al Jamaah adalah sesuatu yang mencocoki Al Haq walaupun engkau sendiri (yang mengikutinya).” (Riwayat Al Laalikaiy dari Ibnu Mas’ud dalam Kitab As Sunnah dan Abu Syamah dalam Al Ba’its ‘Ala Inkari Bida’ Wal Hawaadits halaman 22 dan Ibnul Qayyim dalam Kitab Ighatsatul Lahfan halaman 1/70)

01 April 2011

Mencantumkan nama di KUA

Oleh: Al Lajnah Ad Daimah
Pertanyaan:
Seorang muslim dan muslimah dituntut oleh undang-undang untuk hadir di kantor pencatatan pernikahan (semacam KUA di negeri kita –pent). Maka pergilah sang lelaki dan sang wanita ke kantor tersebut sebelum pernikahan tersebut berlangsung bersama dengan para saksi nikah. Terjadilah di sana ijab kabul. Apakah pernikahan ini sah secara syari’at?
Apabila jawabannya tidak, apakah wajib bagi seorang muslim atau muslimah untuk mendaftarkan pernikahannya secara resmi (sesuai undang-undang) sebelum akad nikah yang syar’i? Perlu diketahui bahwa pencatatan semacam ini bermanfaat untuk memenuhi hak keduanya, baik si suami maupun si istri ketika terjadi konflik?
Jawab:
Jika ijab kabul telah dilaksanakan dengan terpenuhinya syarat-syarat pernikahan dan tidak ada penghalangnya, maka pernikahan tersebut sah. Apabila pernikahan tersebut diatur oleh undang-undang yang memberi kemaslahatan bagi kedua belah pihak di masa sekarang maupun di masa yang akan datang maka wajib untuk ditaati.
Wabillahit taufiq, semoga Allah mencurahkan shalawat dan salam kepada nabi kita Muhammad, kepada keluarga, serta para sahabatnya.
Komite Tetap bagi Penelitian Ilmiah dan Fatwa
Ketua: Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz
Wakil: Abdurrazzaq Afifi
Anggota: Abdullah bin Ghudyan
Anggota: Abdullah bin Qu’ud
Diterjemahkan di Sidayu-Gresik, 9 Rabiul Awwal 1431 bertepatan dengan 22 February 2010.
Naskah asli Fatwa:
السؤال الثالث من الفتوى رقم ( 7910 )
س3: المسلم والمسلمة مطالبان من حيث القانون بالحضور في مكتب تسجيل الزواج، فيذهب الرجل والمرأة إلى المكتب قبل الزواج مع الشهود، ويتم هناك الإيجاب والقبول، فهل هذا يكون نكاحا شرعيا، فإذا كان الجواب بالنفي فهل المسلم أو المسلمة يلزمه التسجيل القانوني قبل عقد النكاح الشرعي، مع العلم بأن التسجيل هذا يفيد كلا من الزوج أو الزوجة حقه عند حصول النزاع؟
ج3: إذا تم القبول والإيجاب مع بقية شروط النكاح وانتفاء موانعه صح، وإذا كان تقييده قانونا يتوقف عليه ما للطرفين من المصالح الشرعية الحاضرة والمستقبلة للنكاح وجب ذلك. وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
عضو … عضو … نائب الرئيس … الرئيس
عبد الله بن قعود … عبد الله بن غديان … عبد الرزاق عفيفي … عبد العزيز بن عبد الله بن باز
READ MORE - Mencantumkan nama di KUA

Jalan Keselamatan

Penulis: Ustadz Muhammad Irfan

Ibnu Baththah menerangkan sebab bersatunya kalimat salaf : “Terus-menerus generasi pertama umat ini diatas (jalan) ini semua, (yakni) di atas persatuan hati dan kecocokan madzhab. Kitabullah (Al-Qur’an) sebagai penjaga mereka, sunnahnya Rasulullah sebagai imam mereka. Mereka tidak menggunakan pendapat-pendapat mereka dan tidak tergiur dengan hawa nafsu mereka. Maka terus-menerus manusia dalam keadaan demikian, hati-hati mereka terjaga dengan penjagaan Tuhan mereka, dan jiwa-jiwa mereka tertahan dari hawa nafsu dengan pertolongan Tuhannya.” (lihat Kitab Al-Ibanah 1/237).

Ketahuilah, semoga Allah merahmati kita, bahwanya jalan yang menjamin bagi kita untuk mendapatkan kenikmatan Islam itu hanya satu dan tidak banyak, karena Allah menetapkan kebahagian hanya bagi satu golongan saja. Allah Ta’ala berfirman : “Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.” (QS. Al- Mujadilah 22).

Dan Allah juga menetapkan kemenangan itu hanya bagi satu golongan, Allah menyatakan : “Dan barang siapa menjadikan Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman sebagai walinya, maka sesungguhnya golongan Allah itulah yang pasti menang.” (QS. Al-Maidah 56).

Dan kapanpun kita cari dalam Al-Qur’an serta dalam Al-Hadits, tidak akan kita jumpai memecah belah umat kepada jama’ah-jama’ah dan kelompok-kelompok kecuali pasti di cela (oleh Al-Qur’an dan Al-Hadits tersebut,ed.).

Allah Ta’ala berfirman : “Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang menyekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah–belah agama mereka, dan mereka menjadi beberapa golongan, tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS. Ar-Ruum 31-32).

Dan bagaimana Allah Azza Wa Jalla akan meridhoi umat-Nya untuk berpecah belah setelah Allah menjaganya dangan tali-Nya, dan Allah juga yang melepaskan nabi-Nya dari hal tersebut, dan mengingatkannya (dari bahaya perpecahan tersebut, ed.). Allah Ta’ala berfirman : “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka berkelompok- kelompok, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah pada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat. “(QS. Al-An’am : 159).

Muawwiyah bin Abi Sufyan berkata : Bahwasanya Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam berdiri di antara kami lalu menyatakan : “Sesungguhnya ahlul kitab sebelum kalian berpecah (menjadi) dua belas millah (golongan), dan umat ini akan berpecah (menjadi) tiga belas, dua belas di neraka dan satu di surga, yaitu Al-Jama’ah.” (HR. Ahmad, Abu Dawud).

Berkata Al-‘Amir Ash-Shan’ani rahmatullah : “Penyebutan jumlah pada hadits ini bukanlah untuk menerangkan tentang banyaknya orang-orang yang binasa, hanya saja hal itu menerangkan tentang luasnya jalan-jalan kesesatan dan cabang-cabangnya, serta (menerangkan bahwa) jalan kebenaran itu hanya ada satu. Dan serupa dengan itu adalah apa yang di sebutkan oleh para ulama tafsir dalam firman Allah : “Dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan(yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya.” (QS. Al-An’am: 153).

Dan bahwasanya (Allah) menjamak (menggunakan lafadz As-Subul sebagai bentuk jamak / jumlah bilangan yang banyak, ed.) terhadap jalan –jalan yang di larang untuk mengikutinya, faedahnya adalah untuk menerangkan bercabangnya jalan-jalan kesesatan, banyak dan luasnya. Sedangkan Allah menunggalkan (menggunakan lafadz tunggal, ed.) terhadap jalan petunjuk dan kebenaran untuk (menerangkan) bahwa jalan kebenaran itu hanya satu dan tidak berbilang ( yakni tidak banyak dan bercabang-cabang jumlahnya, ed.).”

Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu berkata : “Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menggariskan satu garis (di atas tanah) pada kami lalu kami menyatakan : “Ini adalah jalan Allah “, kemudian beliau menggariskan beberapa garis di sebelah kanan dan kirinya, lalu menyatakan : “Ini adalah jalan-jalan ( As-Subul, maknanya beberapa jalan yang banyak, ed.) dan di atas setiap jalan ini ada setan yang mengajak kepadanya”. Lalu beliau membaca (Firman Allah) : “Dan ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), Karena jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya.” (QS. Al-An’am : 153).

Hadits dia atas menunjukkan dengan tegas bahwa jalan kebenaran itu hanya satu. Al-Iman Ibnu Qayyim berkata : “…….Karena jalan yang menyampaikan kepada Allah itu hanya satu, apa-apa yang diutus dengannya para Rasul-Nya, serta di turunkan dengannya kitab-kitab-Nya, tidak seorangpun yang sampai kepada Allah kecuali dengan satu jalan ini, Seandainya manusia itu mendatangi setiap jalan dan minta di bukakan pada setiap pintu, maka jalan-jalan mereka di halangi, serta pintu-pintu itu tertutup, kecuali dari satu jalan ini, maka sesungguhnya jalan itulah yang menyampaikan kepada Allah”.

Dari ucapan Ibnu Qayyim di atas jelas bagi kita bahwa yang di maksud dengan jalan itu adalah rukun kedua dari rukun-rukun tauhid setelah syaadat Laa Ilaaha illallah yaitu syahadat wa asyahadu anna Muhammad rasulullah, dan hal itu juga termasuk rukun kedua dari syarat-syarat di terimanya amalan, karena amalan itu tidak akan di terima kecuali dengan dua syarat, yaitu ikhlas dan mengikuti contoh dari Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam.

Setelah jelas bagi kita bahwa jalan kebenaran itu hanya satu, maka tidak boleh bagi kita untuk menyatakan atau beranggapan bahwa jalan menuju Allah itu banyak sekali sejumlah nafas-nafas manusia, atau pertanyaan-pertanyaan yang lain yang sudah diketahui secara jelas dalam agama ini bahwasanya hal tersebut adalah salah. Dan agama ini datang untuk mempersatukan pemeluknya (dalam satu ikatan) dan tidak untuk memecahbelah. Dan Allah Subhanahu wa ta’ala menyatakan : “Dan berpegang teguhlah kalian semua dengan tali Allah, dan janganlah kalian berpecahbelah, serta ingatlah atas ni’mat Allah kepada kalian, ketika kalian (dahulu) bermusuhan, lalu Allah persatukan hati-hati kalian, menjadilah kalian dengan ni’mat Allah tersebut bersaudara.” (QS. Ali-Imran : 103).

Dan yang di maksud dengan hablullah (tali Allah) adalah Kitabullah (Al-Qur’an), sebagaimana dinyatakan oleh Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu : “Sesungguhnya jalan ini di hadiri oleh para setan yang menyeru : “Wahai hamba Allah, ayo kesini ! Ini adalah jalan (yang lurus)”, untuk menghalangi mereka dari jalan Allah. Maka berpegang teguhlah dengan tali Allah, karena sesungguhnya tali Allah itu adalah Kitabullah”.

Dari atsar diatas dapat kita anbil dua faedah :

Pertama : Bahwa jalan (yang lurus) itu hanya satu, dan setan berupaya untuk memecah belah manusia di sekitar jalan tersebut. Maka tidak ada cara yang paling baik untuk memecah belah manusia dengan ajaran bahwa jalan kebenaran itu banyak. Maka barang siapa yang melempar keragu-raguan kepada manusia dengan pertanyaan bahwa kebenaran itu tidak terbatas pada satu jalan saja, maka dia adalah setan. Dan Allah menyatakan : “Maka tidak ada setelah kebenaran itu kecuali adalah kesesatan.” (QS. Yunus : 32).

Kedua : Bahwa tali Allah yang di tafsirkan dengan Kitabullah yang wajib atas kaum muslimin untuk berpegang teguh dengannya dan bersatu di atasnya tidak bertentangan dengan ucapan Ibnu Mas’ud : “Shirothol mustaqim adalah apa yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan kami di atasnya. “(Atsar riwayat Imam At-Thabrani).
Hal tersebut di karenakan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam meninggalkan bagi mereka Al- Kitab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah, sebagaimana yang beliau nyatakan : “Aku tinggalkan pada kalian apa-apa yang jika kalian berpegang teguh dengannya niscaya kalian tidak akan sesat setelahku selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan sunnahku.” (HR. Imam Malik dalam Al- Muwatho’).

Dan sunnahnya Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam itu juga termasuk wahyu, dan juga sebagai tafsir dari Al-Qur’an, bahwa sebaik-baiknya makhluk dan menafsirkan Al-Qur’an adalah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan : “Dan Kami turunkan kepadamu Adz-Dzikir untuk menjelaskan kepada manusia apa-apa yang Kami turunkan kepada mereka.” (QS. An-Najm : 3-4).

Rasulullah Shallallahu aliahi wa sallam menyatakan : “Ketahuilah, sesungguhnya diturunkan kepadaku Al-Qur’an dan yang semisalnya bersama Al-Qur’an itu. “ (Shahihul Musnad).
Hasan bin Athiyyah menyatakan : “Sesungguhnya Jibril menurunkan sunnah kepada Muhammad Shollalahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dia menurunkan Al-Qur’an.”

Oleh karena Nabi Shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan umatnya jika terjadi perpecahan untuk berpegang dalam sunnah beliau Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menyatakan : “Sesungguhnya barang siapa diantara kalian yang hidup sesudahku, niscaya akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib atas kalian (untuk berpegang teguh) dengan sunnahku dan sunnahnya khulafaur rasyidin al-mahdiyyin. Berpegang teguhlah kalian dengannya, dan gigitlah sunnah tersebut dengan gigi geraham. Dan berhati-hatilah kalian dengan perkara-perkara yang diada-adakan adalah bi’dah.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

Ibnu Baththah menerangkan sebab bersatunya kalimat salaf : “Terus-menerus generasi pertama umat ini diatas (jalan) ini semua, (yakni) di atas persatuan hati dan kecocokan madzhab. Kitabullah (Al-Qur’an) sebagai penjaga mereka, sunnahnya Rasulullah sebagai imam mereka. Mereka tidak menggunakan pendapat-pendapat mereka dan tidak tergiur dengan hawa nafsu mereka. Maka terus-menerus manusia dalam keadaan demikian, hati-hati mereka terjaga dengan penjagaan Tuhan mereka, dan jiwa-jiwa mereka tertahan dari hawa nafsu dengan pertolongan Tuhannya.” (lihat Kitab Al-Ibanah 1/237).

Wallahu a’lam bish shawab

Sumber : BULETIN DAKWAH AT-TASHFIYYAH, Surabaya Edisi : 05/ Dzulqo’dah/ 1424
READ MORE - Jalan Keselamatan

Menjaga Lisan dari Mengutuk/Melaknat

Kata laknat yang sudah menjadi bagian dari bahasa Indonesia memiliki dua makna dalam bahasa Arab :
Pertama : Bermakna mencerca.
Kedua : Bermakna pengusiran dan penjauhan dari rahmat Allah.
Ucapan laknat ini mungkin terlalu sering kita dengar dari orang-orang di lingkungan kita dan sepertinya saling melaknat merupakan perkara yang biasa bagi sementara orang, padahal melaknat seorang Mukmin termasuk dosa besar. Tsabit bin Adl Dlahhak radhiallahu ‘anhu berkata :
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : ‘Siapa yang melaknat seorang Mukmin maka ia seperti membunuhnya.’ ” (HR. Bukhari dalam Shahihnya 10/464)
Ucapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : ((“Fahuwa Kaqatlihi”/Maka ia seperti membunuhnya)) dijelaskan oleh Al Hafidh Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah dalam kitabnya Fathul Bari : “Karena jika ia melaknat seseorang maka seakan-akan ia mendoakan kejelekan bagi orang tersebut dengan kebinasaan.”
Sebagian wanita begitu mudah melaknat orang yang ia benci bahkan orang yang sedang berpekara dengannya, sama saja apakah itu anaknya, suaminya, hewan atau selainnya.
Sangat tidak pantas bila ada seseorang yang mengaku dirinya Mukmin namun lisannya terlalu mudah untuk melaknat. Sebenarnya perangai jelek ini bukanlah milik seorang Mukmin, sebagaimana Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Bukanlah seorang Mukmin itu seorang yang suka mencela, tidak pula seorang yang suka melaknat, bukan seorang yang keji dan kotor ucapannya.” (HR. Bukhari dalam Kitabnya Al Adabul Mufrad halaman 116 dari hadits Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu. Hadits ini disebutkan oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i hafidhahullah dalam Kitabnya Ash Shahih Al Musnad 2/24)
Dan melaknat itu bukan pula sifatnya orang-orang yang jujur dalam keimanannya (shiddiq), karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Tidak pantas bagi seorang shiddiq untuk menjadi seorang yang suka melaknat.” (HR. Muslim no. 2597)
Pada hari kiamat nanti, orang yang suka melaknat tidak akan dimasukkan dalam barisan para saksi yang mempersaksikan bahwa Rasul mereka telah menyampaikan risalah dan juga ia tidak dapat memberi syafaat di sisi Allah guna memintakan ampunan bagi seorang hamba. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Orang yang suka melaknat itu bukanlah orang yang dapat memberi syafaat dan tidak pula menjadi saksi pada hari kiamat.” (HR. Muslim dalam Shahihnya no. 2598 dari Abi Darda radhiallahu ‘anhu)
Perangai yang buruk ini sangat besar bahayanya bagi pelakunya sendiri. Bila ia melaknat seseorang, sementara orang yang dilaknat itu tidak pantas untuk dilaknat maka laknat itu kembali kepadanya sebagai orang yang mengucapkan.
Imam Abu Daud rahimahullah meriwayatkan dari hadits Abu Darda radhiallahu ‘anhu bahwasannya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Apabila seorang hamba melaknat sesuatu maka laknat tersebut naik ke langit, lalu tertutuplah pintu-pintu langit. Kemudian laknat itu turun ke bumi lalu ia mengambil ke kanan dan ke kiri. Apabila ia tidak mendapatkan kelapangan, maka ia kembali kepada orang yang dilaknat jika memang berhak mendapatkan laknat dan jika tidak ia kembali kepada orang yang mengucapkannya.”
Kata Al Hafidh Ibnu Hajar hafidhahullah tentang hadits ini : “Sanadnya jayyid (bagus). Hadits ini memiliki syahid dari hadits Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu dengan sanad yang hasan. Juga memiliki syahid lain yang dikeluarkan oleh Abu Daud dan Tirmidzi dari hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma. Para perawinya adalah orang-orang kepercayaan (tsiqah), akan tetapi haditsnya mursal.”
Ada beberapa hal yang dikecualikan dalam larangan melaknat ini yakni kita boleh melaknat para pelaku maksiat dari kalangan Muslimin namun tidak secara ta’yin (menunjuk langsung dengan menyebut nama atau pelakunya). Tetapi laknat itu ditujukan secara umum, misal kita katakan : “Semoga Allah melaknat para pembegal jalanan itu… .”
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sendiri telah melaknat wanita yang menyambung rambut dan wanita yang minta disambungkan rambutnya.
Beliau juga melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki dan masih banyak lagi. Berikut ini kami sebutkan beberapa haditsnya : “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam melaknat wanita yang menyambung rambutnya (dengan rambut palsu/konde) dan wanita yang minta disambungkan rambutnya.” (HR. Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya)
Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengabarkan :
“Allah melaknat wanita yang membuat tato, wanita yang minta dibuatkan tato, wanita yang mencabut alisnya, wanita yang minta dicabutkan alisnya, dan melaknat wanita yang mengikir giginya untuk tujuan memperindahnya, wanita yang merubah ciptaan Allah Azza wa Jalla.” (HR. Bukhari dan Muslim dari shahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu)
“Allah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Bukhari dalam Shahihnya)
Dibolehkan juga melaknat orang kafir yang sudah meninggal dengan menyebut namanya untuk menerangkan keadaannya kepada manusia dan untuk maslahat syar’iyah. Adapun jika tidak ada maslahat syar’iyah maka tidak boleh karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Janganlah kalian mencaci orang-orang yang telah meninggal karena mereka telah sampai/menemui (balasan dari) apa yang dulunya mereka perbuat.” (HR. Bukhari dalam Shahihnya dari hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha)
Setelah kita mengetahui buruknya perangai ini dan ancaman serta bahayanya yang bakal diterima oleh pengucapnya, maka hendaklah kita bertakwa kepada Allah Ta’ala. Janganlah kita membiasakan lisan kita untuk melaknat karena kebencian dan ketidaksenangan pada seseorang. Kita bertakwa kepada Allah Ta’ala dengan menjaga dan membersihkan lisan kita dari ucapan yang tidak pantas dan kita basahi selalu dengan kalimat thayyibah. Wallahu a’lam bis shawwab.
(Dikutip dari MUSLIMAH Edisi 37/1421 H/2001 M Rubrik Akhlaq, MENJAGA LISAN DARI MELAKNAT Oleh : Ummu Ishaq Al Atsariyah. Terjemahan dari Kitab Nasihati lin Nisa’ karya Ummu Abdillah bintu Syaikh Muqbil Al Wadi’iyyah dengan beberapa perubahan dan tambahan)
READ MORE - Menjaga Lisan dari Mengutuk/Melaknat

Dia… di atas Langit

Penulis: Al Ustadz Abu Hamzah al Atsari

Amat mengherankan perkaranya ketika dimunculkan satu pertanyaan i’tiqodiyah, “Di mana Allah?”, kita mendapatkan jawaban yang bermacam-macam dan berbeda-beda dari mulut-mulut kaum muslimin. Ada yang beranggapan bahwa tidak boleh mempertanyakan di mana Allah, tetapi tak sedikit pula yang menjawab, “Allah ada di mana-mana”, lebih ironisnya ada yang mengatakan, “Allah tidak di atas, tidak juga di bawah, tidak di sebelah kanan tidak pula di sebelah kiri, tidak di barat tidak di timur, tidak di selatan tidak juga di utara.”

Para pembaca, sungguh sangat memprihatinkan bila seorang muslim atau banyak muslim tidak mengetahui masalah pokok dalam agamanya ini, tapi apa hendak dikata bila memang realita yang ada menunjukkan demikian, satu fenomena yang cukup mu`sif (menyedihkan) menimpa ummat ini yang dilatarbelakangi dengan jauhnya dari pendidikan ilmu agama yang benar, sementara Allah telah berfirman, “Allah menganugrahkan al hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al Qur`an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendakiNya. Dan barangsiapa yang dianugrahi al hikmah itu ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang- orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran.” (QS Al Baqoroh: 269). “Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS Az Zumar: 9).
Bagaimana tidak dikatakan hal yang pokok dalam agama, pengetahuan tentang “di mana Allah?” tatkala ternyata Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikannya sebagai dalil akan kebenaran iman seseorang. Di dalam Shohih Muslim, dan Sunan Abi Daud, Sunan An Nasa`i, dan lainnya dari sahabat Mu’awiyah bin Hakam as Sulami, ia berkata: Aku punya seorang budak yang biasa menggembalakan kambingku ke arah Uhud dan sekitarnya, pada suatu hari aku mengontrolnya, tiba-tiba seekor serigala telah memangsa salah satu darinya -sedang aku ini seorang laki-laki keturunan Adam yang juga sama merasakan kesedihan- maka akupun amat menyayangkannya hingga kemudian akupun menamparnya (menampar budaknya, pent.), lalu aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kuceritakan kejadian itu padanya. Beliau membesarkan hal itu padaku, aku pun bertanya, “Wahai Rosulullah apakah aku harus memerdekakannya?” Beliau menjawab, “Panggil dia kemari!” Aku segera memanggilnya, lalu beliau bertanya padanya, “Di mana Allah?” Dia menjawab, “Di langit.” “Siapa aku?” tanya Rosul. “Engkau Rosulullah (utusan Allah)” ujarnya. Kemudian Rosulullah berkata padaku, “Merdekakan dia, sesungguhnya dia seorang mu`min.”
Di dalam hadits ini terkandung tiga pelajaran yang sangat signifikan. Pertama: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan keimanan sang budak ketika ia mengetahui bahwa Allah di atas langit. Kedua: Disyari’atkannya ucapan seorang muslim yang bertanya “Di mana Allah?”. Ketiga: Disyari’atkannya bagi orang yang ditanya hal itu agar menjawab, “Di atas langit.” Sulaiman at Taimi, salah seorang tabi’in mengatakan, “Bila aku ditanya di mana Allah? Aku pasti akan menjawab di atas langit.”
Para pembaca, apa jadinya jika ternyata sebagian kaum yang taunya sebatas “air barokah” dan orang-orang yang spesialisasinya hanya itu kemudian apriori untuk menolak bahkan lebih dari itu mengkafirkan orang yang mempertanyakan “Di mana Allah?” Ketahuilah bahwa siapa saja yang mengingkari permasalahan ini berarti ia telah mengingkari Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, wal ‘iyadzubillah bila kemudian mengkafirkannya. Jawaban seorang budak dalam hadits di atas sesuai dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit, bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kamu… Atau apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu.” (QS Al Mulk: 16-17). Tidaklah mengherankan bila kemudian penetapan bahwa Dzat Allah di atas langit menjadi keyakinan para imam yang empat, imam Abu Hanifah -seorang alim dari negeri Iraq- berkata, “Barangsiapa yang mengingkari Allah ‘azza wa jalla di langit maka ia telah kufur!” Imam Malik -imam Darul Hijroh- mengatakan, “Allah di atas langit, sedang ilmuNya (pengetahuanNya) di setiap tempat, tidak akan luput sesuatu darinya.” Muhammad bin Idris yang lebih dikenal dengan sebutan Imam asy Syafi’i berkata, “Berbicara tentang sunnah yang menjadi peganganku dan para ahli hadits yang saya lihat dan ambil ilmunya seperti Sufyan, Malik, dan selain keduanya, adalah berikrar bahwa tidak ada ilah (yang berhak untuk diibadahi secara benar) kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, serta bersaksi bahwa Allah itu di atas ‘arsy di langit…” Ditanyakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal, “Apakah Allah di atas langit yang ke tujuh di atas ‘arsyNya jauh dari makhlukNya, sedangkan kekuasaanNya dan pengetahuanNya di setiap tempat?” Beliau menjawab, “Ya, Dia di atas ‘arsyNya tidak akan luput sesuatupun darinya.” (Lihat kitab Al ‘Uluw, Imam adz Dzahabi).
Aqidah yang agung ini telah tertanam dalam dada-dada kaum muslimin periode pertama, para salafus sholih ahlussunnah wal jama’ah. Berkata Imam Qutaibah bin Sa’id -wafat pada tahun 240 H-, “Ini adalah pendapat / ucapan para imam-imam Islam, sunnah, dan jama’ah, bahwa kita mengenal Rabb kita di atas langit yang ke tujuh di atas ‘arsyNya.” Sehingga semakin jelaslah bahwa Allah di atas langit sebagai ijma ahlissunnah wal jama’ah yang berlandaskan Kitab, Sunnah, akal, dan fitrah. Allah berfirman, “Dia mengatur urusan dari langit ke bumi.” (QS As Sajdah: 5). “KepadaNyalah naik perkataan yang baik dan amal sholeh yang dinaikkanNya.” (QS Fathir: 10). “Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhannya dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.” (QS Al Ma’arij: 4). “Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit…” (QS Al Mulk: 16-17). “Sucikanlah nama Tuhanmu yang Maha Tinggi.” (QS Al A’laa: 1). Dan ayat-ayat lainnya teramat banyak untuk disebutkan sampai-sampai sebagian besar kalangan Syafi’i mengatakan, “Di dalam Al Qur`an terdapat seribu dalil atau bahkan lebih menunjukkan bahwa Allah ta’ala tinggi di atas makhlukNya.” (Majmu’ul Fatawa: 5/226). Di dalam Shohih Bukhori dan Muslim dari sahabat Abu Bakroh radhiyallahu ‘anhu bahwa ketika Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di hadapan manusia pada hari Arafah, beliau berkata, “Ya Allah, saksikanlah” (seraya mengangkat jari telunjuknya ke arah langit). Semua orang yang berakal akan menetapkan bahwa ketinggian adalah sifat sempurna sedangkan kebalikannya adalah sifat kekurangan, sementara Allah ‘azza wa jalla tersucikan dari hal-hal yang bersifat kekurangan, ini semua menunjukkan bahwa Dzat Allah di atas langit adalah suatu kesempurnaan bagiNya. Demikian pula secara fitroh, semua kaum muslimin di belahan dunia apabila berdo’a mengangkat kedua tangannya ke langit, tak didapatkan seorang pun dari mereka apabila mengatakan, “Ya Allah, ampunilah dosaku” mengarahkan kedua tangannya ke tanah -selama- lamanya!!- menunjukkan secara fitrah, semua manusia menetapkan bahwa Dzat Allah di atas langit.
Para pembaca, perjalanan waktu yang cukup lama aqidah Islam ini tak lagi dikenal dan diketahui mayoritas umat Islam, seakan-akan sirna dari sumbernya, malah sebaliknya faham-faham Jahmiyah, Asy’ariyah, Mu’tazilah, dan ahli kalam yang merajalela bak wabah penyakit yang menular. Kalangan anak-anak, remaja, dan para orang tua, bahkan sang ustadz atau kyai dan guru ngaji bila ditanya, “Di mana Allah?” serempak menjawab, “Allah ada di mana-mana.” Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Sebagian yang dinisbatkan kepada ilmu berdalil atas pernyataannya itu dengan firman Allah, “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.” (QS Al Hadid: 4). Memang menjadi ciri khas ahli bathil adalah “seenaknya mengambil dalil tetapi buruk ketika berdalil”. Ketahuilah bahwa ayat itu sama sekali tidak menunjukkan bahwa Allah ada di mana- mana, sebab bila difahami demikian, maka tentu ketika seseorang berada di masjid Allah ada di situ, ketika di pasar Allah juga ada di situ, bahkan tatkala seseorang berada di tempat kotor sekalipun, seperti WC, maka Allah pun ada di situ! Maha tinggi Allah atas pernyataan-pernyataan ini. Tetapi maksud dari ayat itu “Dia bersama kamu…” ialah ilmuNya, pengawasanNya, penjagaanNya bersama kamu, sedang Dzat Allah di atas arsy di langit. (Lihat Tafsir Qur`anil Azhim: 4/317). Imam Sufyan ats Tsaury -wafat pada tahun 161 H- pernah ditanya tentang ayat ini “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.” Beliau menjawab, “yakni ilmuNya.” Hanbal bin Ishaq berkata: Abu Abdillah (Imam Ahmad, pent.) ditanya apa makna “Dan Dia bersama kamu”? Beliau menjawab, “Yakni ilmuNya, ilmuNya meliputi segala hal sedangkan Rabb kita di atas arsy…” Imam Nu’aim bin Hammad -wafat pada tahun 228 H- ditanya tentang firman Allah “Dan Dia bersama kamu” beliau berkata, “Maknanya tidak ada sesuatupun yang luput darinya, dengan ilmunya.” (lihat Al ‘Uluw, Imam adz Dzahabi). Ketika Imam Abu Hanifah mengatakan, “Allah subhanahu wa ta’ala di langit tidak di bumi”, ada yang bertanya, “Tahukah Anda bahwa Allah berfirman, ‘Dia (Allah) bersama kamu’?” Beliau menjawab, “Ungkapan itu seperti kamu menulis surat kepada seseorang “saya akan selalu bersama kamu” padahal kamu jauh darinya. (I’tiqodul a`immah al arba’ah).
Para pembaca -semoga dirahmati Allah- sudah saatnya kita tanamkan kembali aqidah yang murni warisan Nabi dan para salafus sholih ini di dalam jiwa-jiwa generasi Islam kini dan mendatang. Sungguh keindahan, ketentraman mewarnai anak-anak kita dan para orang tua saat kita tanyai “Di mana Allah?” lalu mereka mengarahkan jari telunjuknya ke atas dan berucap, “Allah di langit.” Wallahul haadi ila sabilir rosyaad. Wal ilmu indallah.

(Buletin Dakwah Al Wala’ Wal Bara’)
READ MORE - Dia… di atas Langit

Islam Itu Agama Tauhid


Penulis: BULETIN DAKWAH AT-TASHFIYYAH, Surabaya EDISI PERDANA

Allah membuka pintu-pintu ilmu bagi hamba-hamba-Nya dengan diutusnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu pintu ibadah kepada Allah serta pintu-pintu ilmu dalam mencari rizki di muka bumi ini dari sisi yang halal. Maka tidak ada sesuatupun yang di butuhkan manusia untuk mengetahui urusan dunia dan dalam agama kecuali Allah sudah jelaskan semua kepada manusia, sehingga menjadilah mereka di atas jalan yang putih bersih, malamnya seperti siangnya, dan tidaklah seseorang itu melenceng darinya kecuali pasti binasa.

Wahai manusia, bertakwalah kalian kepada Allah, dan bersyukurlah kepada-Nya atas nikmat yang di berikan kepada kalian, yaitu dengan diutusnya seorang Rasul kepada kalian, yang mana Rasul tersebut membacakan ayat-ayat Allah kepada kalian, serta mensucikan kalian, mengajari kalian Al-Qur’an dan Al-Hikmah ( As-sunnah ).

Dengan Rasul tersebut Allah mengeluarkan kalian dari kegelapan kesyirikan dan kekufuran menuju ke cahaya keadilan dan kebaikan, serta dari kegelapan kesedihan hati dan sempitnya dada menuju kepada cahaya ketenangan dan lapang dada.

Allah Ta’aala berfirman :
“ Maka apakah orang-orang yang di bukakan Allah hatinya untuk ( menerima ) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhan-Nya ( sama dengan orang yang membantu hatinya ) ? “ ( QS. Az- Zumar : 22 ).

Allah juga berfirman :
Alif lam raa. ( ini adalah ) kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengerluarkan manusia dari gelap gulita menuju cahaya yang terang benderang dengan izin Tuhan mereka, ( yaitu ) menuju jalan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. Allahlah yang memiliki segala apa yang ada di langit dan di bumi, dan celakalah bagi orang-orang kafir karena siksaan yang sangat pedih. “( QS. Ibrahim : 1-2 ).

Allah mengutus nabi-nya Muhammad shallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan manusia berada dalam kebodohan, lalu beliau membuka pintu-pintu ilmu dalam mengenal Allah, nama-nama-Nya, sifat-sifat serta perbuatan-Nya. Dam juga pintu-pintu ilmu untuk mengenal makhluk-Nya yaitu permulaan dan akhir dari penciptaan manusia, serta hisab dan pembalasan ( di hari kiamat ).

Allah Ta’aala berfirman : “Dan sesungguhnya kami menciptakan manusia dari suatu sari pati ( berasal ) dari tanah. Kemudian Kami jadikan sari pati itu menjadi air mani ( yang tersimpan ) dalam tempat yang kokoh ( yaitu rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, dan segumpal darah itu Kami jadikan dia makhluk yang ( berbentuk ) lain. Maka Maha Suci Allah, penciptaan yang paling baik. Kemudian sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. Kemudian sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan ( dari kuburmu ) di hari kiamat. “(QS. Al-Mu’minum:12-16 ).

Allah membuka pintu-pintu ilmu bagi hamba-hamba-Nya dengan diutusnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu pintu ibadah kepada Allah serta pintu-pintu ilmu dalam mencari rizki di muka bumi ini dari sisi yang halal. Maka tidak ada sesuatupun yang di butuhkan manusia untuk mengetahui urusan dunia dan dalam agama kecuali Allah sudah jelaskan semua kepada manusia, sehingga menjadilah mereka di atas jalan yang putih bersih, malamnya seperti siangnya, dan tidaklah seseorang itu melenceng darinya kecuali pasti binasa.

Allah Ta’ala mengutus Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam ketika manusia bergelimang dengan berbagai macam kesyirikan. Diantara mereka ada yang menyembah berhala, ada juga yang menyembah Al-Masih ibnu Maryam ( Nabi Isa ‘alaihissalam ) dan ada yang menyembah pepohonan dan batu-batuan. Kemudian Allah menyelamatkan mereka dari kebodohan ini, yaitu dari beribadah kepada berhala-berhala untuk beribadah kepada Allah, mentauhidkan-Nya, mengiklaskan ibadah hanya untuk Allah saja serta menunjukkan kecintaan dan pengagungan kepada-Nya saja. Mka jadilah hamba tersebut ikhlas dalam niatnya, ikhlas dalam mencintainya serta ikhlas dalam mengagungkannya, baik lahir maupun batin.

Allah Ta’ala berfirman :
“Katakanlah, sesungguhnya sholatku, sembelihanku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah semesta alam”. ( QS. Al-An’am : 162 ).
Dalam firman-Nya yang lain : “ Maka Tuhanmu adalah Tuhan yang Esa, kaerena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. “ ( QS.Al-Hajj :34 ).

Demikanlah, Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam datang utntuk merealisasikan tauhid dan mensucikannya, ( yakni ) mensucikannya dari setiap kotoran-kotoran dan menutup segala pintu yang dapat mengantarkan kepada kerusakan tauhid itu atau melemahkannya. Sampai-sampai, ketika ada seseorang yang berkata kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam : “Atas kehendak Allah dan kehendak anda.” Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan : “Apakah kamu hendak menjadikan aku sebagai tandingan bagi Allah ? Tetapi hendaknya km katakan : “Atas kehendak Allah saja.” ( Hadits Hasan Riwayat Imam Ahmad ).

Dalam hadits ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menngingkari laki-laki tersebut yang menggabungkan masyi’ah ( kehendak ) Allah dan huruf yang menghendaki penyamaan antara keduanya ( yakni faedah wawu athof yang berarti dan yang memberi faedah bahwa kata yang di gabungkan itu memiliki nilai derajat atau kedudukan yang sama, ed ), dan menjadikan hal tersebut termasuk mengadakan tandingan ( sekutu )bagi Allah, dan menjadikan tandingan bagi Allah itu adalah menyekutukan-Nya ( berbuat syirik ).

Demikian pula Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan seseorang bersumpah dengan selain Allah dan menjadikan perbuatan tersebut termasuk ke syirikan. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda : “ Barang siapa bersumpah dengan selain Allah, maka dia telah kufur atau syirik. “( hadits Shohib Riwayat Imam At-Tirmidzi ).Yang demikian itu karena bersumpah dengan selain Allah berarti mengagungkan yang sesuai dengannya. Maka tidak boleh bagi seorang muslim mengatakan ketika bersumpah “ demi nabi “ atau “ demi kehidupan nabi “ atau juga “ demi kehidupan fulan “, akan tetapi hendaknya bersumpah denngan Allah saja atau diam.

Demikian pula ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam di tanya tentang seorang yang bertemu dengan saudaranya lalu mengucapkan salam padanya, apakah boleh membungkuk kepadanya ( ketika memberi salam ) ? Maka beliau menjawab : “Tidak “. ( HR.At-Tirmidzi ). Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam melarang memberi salam sambil membungkuk karena hal tersebut termasuk khudhu’ ( tunduk atau merendah ) yang tidak boleh dilakukan kecuali kepada Allah saja, Dialah satu-satunya yang berhak di sujudi dan di ruku’i. Dan sujud ketika memberikan salam di perbolehkan hanya pada syari’at sebelum kita. Akan tetapi syari’at ( Islam ) ini adalah syari’at yang sempurna, syari’atnya Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya dan mengharamkan kecuali untuk Allah saja.

Dan di dalam sebuah hadits di kisahkan bahwa Mu’adz bin jabal datang ke syam dan menjumpai mereka ( penduduk syam ) bersujud ( yakni membungkuk ketika salam,ed ) kepada pemimpin- pemimpin mereka, dan hal itu terjadi sebelum mereka masuk Islam. Tatkala Mu’adz dari syam ( yakni ketika sampai di madinah, ed ), dia sujud kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “ Apa ini wahai Mu’adz ? “ Lalu Mu’adz berkata : “Aku melihat mereka ( penduduk Syam ) sujud kepada pemimpin-pemimpin mereka, Anda lebih pantas untuk disujudi ( daripada pemimpin-pemimpin mereka ) “. Lalu Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Seandainya aku ( dibolehkan ) memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain, niscaya aku akan perintahkan perempuan ( yakni para istri )untuk sujud kepada suaminya. “( HR.Ibnu Majah ).
Hal tersebut di kaerenakan besarnya hak suami terhadap istrinya.

Imam An-Nasa’I meriwayatkan dengan sanad yang jayyid ( bagus ) dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, bahwasanya sekelompok manusia datang kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata : “ Wahai rasulullah, wahai orang yang terbaik dan anaknya yang terbaik, wahai tuan kami dan anaknya tuan kami.” Lalu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Wahai manusia, ucapkanlah dengan ucapan kalian, dan janganlah syetan menggoda kalian. Aku adalah Muhammad, hamba Allah dan Rasul-Nya. Aku tidak senang kalian mengangkat aku di atas kedudukanku yang telah Allah tentukan bagiku.”

Dan di antara upaya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk menutup jalan-jalan kesyirikan adalah tidak membiarkan di dalam rumah gambar-gambar yang di sembah selain Allah atau yang di agungkan untuk di ibadahi. Dalam Shahih Bukhori dari ‘Aisyah radhiyallahu anha, beliau berkata : “Tidaklah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan dalam rumahnya sesuatu yang di dalamnya ada salib kecuali menghancurkannya.”

Salib adalah tanda yang digunakan oleh orang-orang Nashoro sebagai syiar agama mereka dan di sembah-sembah. Dan definisi salib sebagaimana terdapat dalam kanus Al-Munjid adalah semua yang berbentuk dua garis yang saling memotong dan maknanya adalah garis lurus ( vertical ) yang di potong oleh garis yang kesamping ( horizontal ), sama yang di potong itu di tengah atau di atas.
Orang-orang Nashoro menyangka bahwa Al-Masih bin Maryam itu disalib setelah dia di bunuh, maka Allah membantah anggapan tersebut dalam firmannya : “Tidaklah mereka membunuhnya dan tidak pula mereka menyalibnya, akan tetapi ( yang mereka bunuh adalah ) yang diserupakan dengan Isa bagi mereka.” ( QS.An-Nisa : 157-158 ).

Orang-orang Nashoro mengagungkan salib, mereka meletakkannya di mihrab-mihrab mereka dan menggantungkannya di leher-leher mereka. Padahal termasuk dari petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah menghilangkan apa saja yang ada salibnya dalam rangka menjaga tauhid dan menjauhi penyerupaan kepada selain muslimin. Karena musuh-musuh islam dalam rangka menghancurkan Islam, mereka menyerang kaum muslimin, baik anak-anak maupun orang dewasa ( bahkan musik dan lagu-lagu rohani orang-orang Nashoro juga memenuhi perabot perabot rumah tangga dan mainan anak-anak,ed ) Laa haula walaa quwwata illa billahi, inna lillahi wainna ilaihi raji’un.

Semoga Allah menjaga Agama kita serta menghidupkan hati kita yang telah lalai. Amin Ya Robbal ‘Alami.


Maraji’ : Majmu Fatawa Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin jilid VI, diterjemahkan oleh Ustadz Muhammad Irfan.
READ MORE - Islam Itu Agama Tauhid

Kunci Surga

Penulis: Al-Ustadz Agus Su’aidi As-Sidawy

Ibarat sebuah pintu, surga menbutuhkan sebuah kunci untuk membuka pintu-pintunya. Namun, tahukah Anda apa kunci surga itu ? Bagi yang merindukan surga, tentu akan berusaha mencari kuncinya walaupun harus mengorbankan nyawa.

Tetapi anda tak perlu gelisah, Nabi Muhammad Sholallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan pada umatnya apa kunci surga itu, sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits yang mulia, beliau bersabda (yang artinya): “Barang siapa mengucapkan kalimat Laa ilaaha illalloh dengan penuh keikhlasan, maka dia akan masuk surga. “
(HR. Imam Ahmad dengan sanad yang shohih).

Ternyata, kunci surga itu adalah Laa ilaahaa illalloh, kalimat Tauhid yang begitu sering kita ucapkan. Namun semudah itukah pintu surga kita buka ? Bukankah banyak orang yang siang malam mengucapkan kalimat Laa ilaaha illalloh, tetapi mereka masih meminta-minta (berdo’a dan beribadah) kepada selain Allah, percaya kepada dukun-dukun dan melakukan perbuatan syirik lainnya ? Akankah mereka ini juga bisa membuka pintu surga ? Tidak mungkin !

Dan ketahuilah, yang namanya kunci pasti bergerigi. Begitu pula kunci surga yang berupa Laa ilaaha illalloh itu, ia pun memiliki gerigi. Jadi, pintu surga itu hanya bisa dibuka oleh orang yang memiliki kunci yang bergerigi.

Al-Iman Al-Bukhori meriwayatkan dalam Shohih-nya (3/109), bahwa seseorang pernah bertanya kepada Al-Imam Wahab bin Munabbih (seorang Tabi’in terpercaya dari Shon’a yang hidup pada tahun 34-110 H) : “Bukankah Laa ilaaha illalloh itu kunci surga ? “Wahab menjawab : “Benar, akan tetapi setiap kunci yang bergerigi. Jika engkau membawa kunci yang bergerigi, maka pintu surga itu akan di bukakan untukmu !”.

Lalu, apa gerangan gerigi kunci itu Laa ilaaha illalloh itu ? Ketahuilah, gerigi kunci Laa ilaaha illalloh itu adalah syarat-syarat Laa ilaaha illalloh ! Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qoshim Al-Hambali An-Najdi rahimahullah, penyusun kitab Hasyiyyah Tsalatsatil Ushul, pada halaman 52 kitab tersebut menyatakan, syarat-syarat Laa ilaaha illalloh itu ada delapan, yaitu :

Pertama : Al-‘Ilmu (mengetahui), maksudnya adalah Anda harus mengetahui arti (makna) Laa ilaaha illalloh secara benar. Adapun artinya adalah : “Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah”. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Barang siapa mati dalam keadaan mengetahui bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, niscaya dia akan masuk surga.”
(HR. Muslim).
Seandainya Anda mengucapkan kalimat tersebut, tetapi anda tidak mengerti maknanya, maka ucapan atau persaksian tersebut tidak sah dan tidak ada faedahnya.

Kedua : Al-Yaqiinu (meyakini), maksudnya adalah anda harus menyakini secara pasti kebenaran kalimat Laa ilaaha illalloh tanpa ragu dan tanpa bimbang sedikitpun. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak di sembah kecuali Allah dan aku adalah utusan Allah. Tidaklah seorang hamba bertemu dengan Allah sambil membawa dua kalimat syhadat tersebut tanpa ragu kecuali pasti dia akan masuk surga.
(HR. Muslim).

Ketiga : Al-Qobulu (manerima), maksudnya Anda harus menerima segala tuntunan Laa ilaaha illalloh dengan senang hati, lisan dan perbuatan, tanpa menolak sedikitpun. Anda tidak boleh seperti orang-orang musyirik yang di gambarkan oleh Allah dalam Al-Qur’an (yang artinya):
“Orang-orang yang musyrik itu apabila di katakan kepada mereka : (ucapkanlah) Laa ilaaha illalloh, mereka menyombongkan diri seraya berkata : Apakah kita harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kita hanya karena ucapan penyair yang gila ini ? “
(QS. As-Shoffat : 35-36).

Keempat : Al-Inqiyaadu (tunduk atau patuh), maksudnya Anda harus tunduk dan patuh melaksanakan tuntunan Laa ilaaha illalloh dalam amal-amal nyata. Allah subhanahu wa Ta’ala (yang artinya):
“Kembalilah ke jalan Tuhanmua, dan tunduklah kepada-Nya. “
(QS. Az-Zumar : 54).
Allah Ta’ala juga berfirman (yang artinya):
“Dan barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada buhul (ikatan) tali yang amat kokoh (yakni kalimat Laa ilaaha illalloh). “(QS. Luqman : 22).
Makna “menyerahkan dirinya kepada Allah” yaitu tunduk, patuh dan pasrah kepada-Nya (ed.).

Kelima : Ash-Shidqu (jujur atau benar), maksudnya Anda harus jujur dalam melaksanakan tuntutan Laa ilaaha illalloh, yakni sesuai antara keyakinan hati dan amal nyata, tanpa di sertai kebohongan sedikitpun. Nabi Sholallahu ‘alahi wa sallam bersabda (yang artinya) :
“Tidaklah seseorang itu bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak di sembah kecuali Allah dan Muhammad itu adalah hamba dan utusan-Nya, dia mengucapkannya dengan jujur dari lubuk hatinya, melainkan pasti Allah mengharamkan neraka atasnya. “
(HR. Imam Bukhori dan Muslim).

Keenam : Al-Ikhlas (ikhlas atau murni), maksudnya Anda harus membersihkan amalan Anda dari noda-noda riya’ (amalan ingin di lihat dan dipuji oleh orang lain), dan berbagai amalan kesyirikan lainnya. Nabi sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan Laa ilaaha illalloh semata-mata hanya untuk mengharapkan wajah Allah Azza wa Jalla. “(HR. Imam Bukhori dan Muslim).

Ketujuh : Al-Mahabbah (mencintai), maksudnya anda harus mencintai kalimat tauhid, tuntunannya, dan mencintai juga kepada orang-orang yang bertauhid dengan sepenuh hati, serta membenci segala perkara yang merusak tauhid itu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “Dan di antara manusia ada yang menbuat tandingan-tandingan (sekutu) selain Allah yang di cintai layaknya mencintai Allah. Sedangkan orang-orang yang beriman, sangat mencintai Allah diatas segala-galanya). “
(QS. Al-Baqarah : 165). Dari sini kita tahu, Ahlut Tauhid mencintai Allah dengan cinta yang tulus bersih. Sedangkan Ahlus Syirik mencintai Allah dan mencintai tuhan-tuhan yang lainnya. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan isi kandungan Laa ilaaha illalloh.(ed,).

Kedelapan : Al-Kufru bimaa siwaahu (mengingkari sesembahan yang lainnya), maksudnya Anda harus mengingkari segala sesembahan selain Allah, yakni tidak mempercayainya dan tidak menyembahnya, dan juga Anda harus yakin bahwa seluruh sesembahan selain Allah itu batil dan tidak pantas disembah-sembah. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan (yang artinya): “Maka barang siapa mengingkari thoghut (sesembahan selain Allah) dan hanya beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang teguh pada ikatan tali yang amat kokoh (yakni kalimat Laa ilaaha illalloh), yang tidak akan putus….”(QS. Al-Baqoroh : 256).

Saudaraku kaum muslimin dari sini dapatlah anda ketahui, bahwa orang yang mengucapkan kalimat Laa ilaaha illalloh hanya dengan lisannya tanpa memenuhi syarat-syaratnya, dia bagaikan orang yang memegang kunci tak bergerigi, sehingga mustahil baginya untuk membuka pintu surga, walaupun dia mengucapkannya lebih dari sejuta banyaknya. Karena itu perhatikanlah ! Wallahu a’lamu bish showwab !.


Dinukil dari bulletin Dakwah Al-Bayyinah, edisi 07/02/20, diolah dan disusun kembali oleh Abu Abdirrahman.
(BULETIN DAKWAH AT-TASHFIYYAH, Surabaya Edisi
(darus salaf chm)
READ MORE - Kunci Surga

01 Maret 2011

Penyatuan Agama dalam Pandangan Islam dan Fithrah yang Suci

Penulis: Buletin Da’wah Al Ilmu, Jember Edisi : 45 / IV / II / 1425

Penyatuan agama atau yang populer disebut dengan “Teologi Pluralis”, merupakan upaya penyatuan antara Islam dengan agama-agama lainnya seperti Yahudi, Nashrani dan seluruh ajaran-ajaran menyimpang lainnya. Konsep penyatuan agama ini termasuk makar terbesar terhadap Islam dan muslimin, di mana seluruh musuh-musuh Islam berserikat dalam satu kalimat: “benci Islam dan muslimin.”

Allah  telah menerangkan dalam kitab-Nya bahwa Yahudi dan Nashrani selalu bekerja keras untuk mengeluarkan kaum muslimin dari keislamannya, menjerumuskan mereka ke dalam kekufuran serta mengajak mereka untuk menjadi Yahudi atau Nashrani. Allah  berfirman:
“Sebagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekufuran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Al Baqarah: 109)

“Dan mereka (Yahudi dan Nashrani) berkata: ‘Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang- orang (yang beragama) Yahudi atau Nashrani.’ Demikian itu (hanya) angan-angan kosong mereka belaka. Katakanlah: ‘Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar.” (Al Baqarah: 111)

“Dan mereka berkata: Hendaklah kamu menjadi penganut agama Yahudi atau Nashrani, niscaya kamu mendapat petunjuk. Katakanlah: Tidak, bahkan (kami mengikuti) agama Ibrohim yang lurus. Dan dia (Ibrohim) bukanlah termasuk dari golongan orang musyrik.” (Al Baqarah: 135)

Atas dasar itulah, maka gerakan pemurtadan dan pengkafiran kaum muslimin sebenarnya telah ada pada masa Nabi , demikian pula seruan penyatuan agama yang dilakukan orang-orang musyrik Quraisy sebagaimana yang disinyalir di dalam Al Qur’an surat Al Kaafiruun. Meskipun ambisi mereka itu Allah  patahkan dengan turunnya surat Al Kaafiruun tersebut.

Kemudian setelah itu, muncul kembali seruan tersebut dengan slogan-slogan baru, untuk menipu orang-orang bodoh. Kali ini pemeran utamanya adalah orang-orang Yahudi dan Nashrani, mengingat gerakan pemurtadan dan pengkafiran mereka mendapat hadangan yang luar biasa dari kaun muslimin. Slogan mereka yaitu bahwa agama-agama seperti Yahudi, Nashrani, dan Islam, ibaratnya seperti keberadaan empat madzhab fiqih di tengah-tengah kaum muslimin, semua jalan pada hakekatnya menuju Allah .

Slogan ini ternyata disambut baik oleh kelompok-kelompok Islam sempalan yang berafiliasi kepada paham tasawwuf di Mesir, di Syam, Persia dan negara-negara besar di selain jazirah Arab. Seruan dan slogan ini pun disambut baik oleh kelompok ekstrim Syiah Rafidhah dan yang lainnya, sampai-sampai sebagian mereka ada yang membolehkan untuk menjadi seorang Yahudi atau Nashrani. Bahkan ada pula di antara mereka yang cenderung lebih mengunggulkan agama Yahudi dan Nashrani daripada Islam. Hal ini menimpa sebagian mereka yang telah banyak terpengaruh filsafat.

Pada pertengahan pertama abad ke-14 hijriyah, seruan penyatuan agama semakin dipropagandakan dengan lebih profesional, setelah sekian lama mengakar di dada para penyokongnya yang menampakkan keislaman namun menyembunyikan kekufuran dan kesesatan. Maka lahirlah sebuah organisasi gerakan yang disebut dengan Freemasonry, yakni organisasi Yahudi yang mengusung slogan Liberty, Egality, dan Fraternity (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan), dan mempropagandakan persaudaraan universal tanpa memandang etnis, bangsa, dan agama. Organisasi ini muncul di bawah “payung” seruan penyatuan tiga agama (Yahudi, Nashrani, dan Islam), mengikis belenggu “fanatik”, dan dengan menyamakan keimanan kepada Allah  maka semuanya adalah mukmin.

Tercatat sebagai orang yang ikut terlibat menyebarkan seruan ini adalah Jamaluddin bin Shafdar Al Afghanii pada tahun 1314 H di Turki dan juga diikuti oleh muridnya yang sangat gigih di dalam menyuarakan seruan ini yaitu Muhammad ‘Abduh bin Hasan At-Turkumani pada tahun 1323 H di Iskandariyah (Mesir). (Lihat Shahwatur Rajulil Maridh, hal. 340, Jamaluddin Al Afghanii fil Mizan, diambil dari Al Ibthal linazhariyatil Khalath baina Dinil Islam wa Ghairihi minal Adyan, hal. 6)
Sejak permulaan abad ke-14 H itulah hingga sekarang, orang-orang Yahudi dan Nashrani di bawah naungan “undang-undang dunia baru” semakin terang-terangan dalam menyuarakan penyatuan agama baik di kalangan mereka sendiri maupun di tengah-tengah kaum muslimin dengan menyelenggarakan seminar-seminar, pertemuan-pertemuan ataupun dialog terbuka antar agama dan lain sebagainya. Yang akhirnya muncul sejumlah istilah dan slogan seperti: “pendekatan antar agama”, “menghapus fanatisme beragama”, “persaudaraan antara Islam- Kristen”, “penyatuan agama”, “persatuan agama Tuhan”, “agama-agama dunia”, atau dengan menghilangkan kata agama dan menggantikan kata agama dengan kebebasan, persaudaraan, kesamaan atau keselamatan, kasih sayang dan kemanusiaan, dan seterusnya… (Lihat Al Ibthal linazhariyatil Khalath baina Dinil Islam wa Ghairihi minal Adyan, hal. 7)

BAHAYA PENYATUAN AGAMA
Para pembaca, demikianlah seruan-seruan setan yang senantiasa digulirkan dari masa ke masa. Meskipun berbeda-beda dan berganti-ganti istilah serta slogan, namun tujuannya tetap sama, yaitu agar kaum muslimin murtad dari agamanya.

Allah  berfirman:
“Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran) seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni an naar (neraka), mereka kekal di dalamnya.” (Al Baqarah: 217)

“Orang-orang kafir dari ahli kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya suatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu.” (Al Baqarah: 105)
“Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka).” (An-Nisa: 89)

“Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (An-Nisa: 101)

Oleh karena itu, penyatuan agama dengan segala bentuknya merupakan musibah terbesar yang menimpa kaum muslimin dewasa ini. Memandang sama antara Islam dan kafir, haq dan bathil, hidayah dan kesesatan, kebaikan dan kemungkaran, adalah kekufuran nomor wahid. Karena Allah  berfirman:
“Apakah (orang-orang kafir itu sama dengan) orang-orang yang mempunyai bukti yang nyata (Al Qur’an) dari Tuhannya, dan diikuti pula oleh seorang saksi (Muhammad) dari Allah dan sebelum Al Qur’an itu telah ada kitab Musa yang menjadi pedoman dan rahmat? Mereka itu beriman kepada Al Qur’an. Dan barangsiapa di antara mereka (orang-orang Quraisy) dan sekutu- sekutunya yang kafir kepada Al Qur’an, maka an naar (neraka)lah tempat yang diancamkan baginya.” (Hud: 17)

“Orang-orang Yahudi berkata: ‘Uzair itu putera Allah’, dan orang Nashrani berkata: ‘Al Masih itu putera Allah’. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Allah melaknati mereka. Bagaimana mereka sampai berpaling? Mereka menjadikan orang-orang alim mereka, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (At-Taubah: 30-31)

Allah  berfirman:
“Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrohim dan orang-orang yang bersamanya; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata permusuhan dan kebencian antara kami dan kamu, untuk selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (Al Mumtahanah: 4)

SIKAP MUSLIM SEJATI
Oleh karena itu, seorang muslim yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Rabbnya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Rasulnya, tidak boleh menyambut seruan ini, tidak boleh pula terlibat dalam perkumpulan- perkumpulannya atau seminar-seminarnya.

Bahkan harus menolaknya, memperingatkan dari bahayanya, mencelanya dan mengusirnya dari lingkungan-lingkungan muslimin. Sebab seruan ini adalah seruan yang bid’ah, sesat, dan kufur, mengajak untuk murtad secara sempurna dari Islam, bertolak belakang dengan prinsip-prinsip aqidah, melanggar kehormatan para rasul dan risalahnya, menolak kebenaran Al Qur’an, menolak bahwa Islam sebagai penghapus syariat-syariat sebelumnya.

Seruan ini adalah seruan yang tertolak secara syariat, tidak sesuai dengan fitrah yang suci, diharamkan secara pasti dengan seluruh dalil-dalil dari AlKitab dan As Sunnah serta ijma’ (kesepakatan ulama). Oleh karena itu, bila seruan ini muncul dari seorang muslim, maka ini adalah kemurtadan yang nampak dan kekufuran yang terang-terangan.” (Lihat Al Ibthal li nazhariyatil Khalath, hal. 15).

UNTAIAN FATWA
Mengingat bahayanya seruan ini terhadap Islam dan muslimin, maka para ulama dari Al Lajnah Ad Daimah lil Iftaa’ yang diketuai ketika itu oleh Asy Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah mengeluarkan fatwa yang berkenaan dengan hal tersebut. Inilah (terjemahan) naskah fatwanya:
“Sesungguhnya seruan kepada penyatuan agama, jika dilakukan oleh seorang muslim maka hal itu berarti kemurtadan yang nyata dari Islam, karena bertentangan dengan prinsip-prinsip aqidah, meridhai kekufuran kepada Allah, menolak kebenaran Al Qur’an dan menolak fungsinya sebagai penghapus seluruh kitab sebelumnya, dan menolak Islam sebagai penghapus seluruh syariat dan agama sebelumnya. Berdasarkan hal itu, maka pemikiran tersebut tertolak secara syariat, dan haram secara pasti dengan seluruh dalil-dalil syar’i dari Al Qur’an, As Sunnah, dan ijma’.” (Raf’ul Litsam, hal. 76)

Wallahu A’lam Bish Showab
MUTIARA HADITS SHAHIH

Dari shahabat Abu Hurairah , Rasulullah  bersabda:
وَ الَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ ! لاَ يَسْمَعُ بِيْ أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ يَهُوْدِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
“Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya. Tidaklah seorangpun, baik dari Yahudi maupun Nashrani, yang mendengar tentang diutusnya aku (Muhammad ), kemudian mati dan tidak beriman dengan sesuatu yang aku diutus dengannya, kecuali dia termasuk penghuni an naar.” (Muttafaqun ‘alaihi) (darus salaf ebook)
READ MORE - Penyatuan Agama dalam Pandangan Islam dan Fithrah yang Suci

Propaganda Sinkretisme Agama

Penulis: Dewan Fatwa Ulama dan Riset Ilmiyah Arab Saudi
Segala puji bagi Allah semata. Shalawat dan salam atas Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam -tidak ada nabi setelahnya- dan kepada keluarga, para shahabatnya serta orang-orang yang mengikuti jejak) mereka dengan baik hingga hari kiamat. Kemudian Sesungguhnya (Lajnah Ad Da’imah Divisi Penelitian Ilmiah dan Komisi Fatwa Kerajaan Arab Saudi) telah mengeluarkan fatwa, menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang dilayangkan kepada lajnah tentang beberapa pemikiran dan makalah yang kian marak diekspos di media-media informasi seputar masalah seruan sinkretisme agama (penyatuan agama), antara Agama Islam, Yahudi, dan Nasrani. Demikian pula beberapa problematika yang merupakan dampak dari propaganda tersebut, seperti masalah pembangunan masjid, gereja dan tempat peribadatan Yahudi dalam satu kawasan. Baik lingkungan universitas, bandara penerbangan maupun di tempat-¬tempat umum. Begitu pula seruan untuk mencetak Al Qur’an Al Karim, Taurat dan Injil dalam satu jilid. Dan masih banyak lagi dampak propaganda penyatuan agama tersebut. Demikian pula muktamar-muktamar, seminar dan yayasan-yayasan di barat dan di timur yang diselenggarakan dan didirikan untuk tujuan tersebut.
Setelah menela’ah dan mempelajarinya, maka Lajnah Ad Daimah menetapkan sebagai berikut
Pertama
Sesungguhnya termasuk pokok-pokok keyakinan di dalam Islam, yang telah diketahui secara pasti dan disepakati oleh kaum muslimin adalah bahwasanya tidak ditemukan di muka bumi ini satu agama pun yang benar selain agama Islam. Islam adalah agama penutup sekaligus penghapus seluruh agama maupun syari’at sebelumnya. Jadi tidak ada lagi agama pun yang eksis di muka bumi ini yang boleh digunakan sebagai pedoman ibadah selain agama Islam. Allah Ta’ala berfirman:
“Barangsiapa mencari agama selain Islam maka tidak akan diterima darinya dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang merugi.”(Ali Imron : 85)
Islam setelah diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam merupakan agama yang dibawa oleh beliau, bukan agama selainnya.
Kedua:
Termasuk pokok-pokok keyakinan di dalam Islam, bahwa Kitabullah Ta’ala (Al Qur’an Al Karim) adalah Kitab Allah terakhir yang diturunkan dan telah mendapat jaminan dari Rabb semesta alam. Sebagai penghapus bagi semua kitab yang diturunkan sebelumnya seperti Taurat, Injil dan selainnya. Sebagai penyempurna terhadap kitab-kitab terdahulu. Maka tidak ada sebuah kitab pun yang diturunkan setelah diutusnya Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam selain Al Qur’an Al Karim.. Allah Ta’ala berfirman
“Dan Kami telah menurunkan Al Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu ; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. “(Al Maidah : 48).
Ketiga
Wajib mengimani bahwasanya Taurat dan Injil telah dihapus dengan turunnya Al Qur’an Al Karim. Keduanya telah mengalami tahrif (perubahan) dan tabdil (diganti) dengan penambahan maupun pengurangan. Sebagaimana dijelaskan perihal tersebut pada beberapa ayat dalam Kitabullah Al Karim, diantaranya firman Allah Ta’ala
“(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya. Kami kutuki mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan engkau (Muhammad) senantiasa akan melihat penghianatan dari mereka kecuali sedikit di antara mereka (yang tidak berkhianat). “(AI Maidah : 13)
Firman-Nya Jalla wa `Ala :
“Maka kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang menulis Al kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya :”Ini dari Allah “. (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan. “(AI Baqarah : 79).
Dan firman-Nya yang Maha Suci :
“Sesungguhnya diantara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab, padahal ia bukan dari Al Kitab dan mereka mengatakan : “la (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah, sedang mereka mengetahui.” (Ali Imron : 78)
Oleh karena itu, kebenaran apa saja yang terdapat pada agama-agama tersebut, maka telah dihapus dengan Islam. Adapun selain itu, telah mengalami penyimpangan dan perubahan. Diriwayatkan dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam bahwasanya Beliau marah tatkala melihat Umar ibnul Khaththab (memegang) lembaran Taurat. Maka (Beliau) ‘alaihish sholatu wassalam bersabda :
“Apakah engkau masih ragu wahai Ibnul Khaththab ?! Bukankah telah datang agama yang putih lagi bersih ? Seandainya saudaraku Musa masih hidup saat ini, niscaya tidak ada keluwesan bagi dia melainkan mengikuti syari’atku.” (HR Ahmad,Ad Darimi dan selain keduanya).
Keempat
Termasuk pokok-pokok keyakinan di dalam Islam adalah bahwa Nabi dan Rasul kita Muhammad shallallahu’alaihi wasallam adalah penutup para nabi dan rasul. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
“Bukanlah Muhammad itu bapak salah seorang diantara kalian melainkan seorang utusan Allah dan penutup para nabi.” (AI Ahzab : 40)
Maka tidak ada lagi seorang rasul yang wajib diikuti selain Muhammad shallallahu’alaihi wasallam. Seandainya ada seorang nabi dari nabi-nabi Allah dan rasul-rasul-Nya yang masih hidup, niscaya akan mengikut syari’at Beliau shallallahu’alaihi wasallam. Begitu pula para pengikut nabi-nabi tersebut. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
“Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi : “Sungguh apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya.” Allah berfirman “Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu ?” Mereka menjawab “Kami mengakui. “Allah berfirman : “Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan aku menjadi saksi pula bersama kamu.” (Ali Imron : 81)
Nabi Isa `alaihish sholatu wasallam tatkala turun di akhir zaman, beliau akan mengikuti Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam dan berhukum dengan syari’atnya. Allah Ta’ala berfirman:
“(Yaitu) orang-orang yang mengikuti rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil. ” (Al A’raf : 157).
Demikian pula, termasuk pokok-pokok keyakinan di dalam Islam bahwa nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam diutus untuk segenap manusia. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan tidaklah engkau diutus melainkan untuk seluruh manusia, sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan. Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”(Saba: 28).
Allah Ta’ala berfirman ;
“Katakanlah (wahai Muhammad) “Wahai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah untuk kalian seluruhnya.” (Al A’raf : 158)
dan juga dalam ayat-ayat yang lain.
Kelima :
Termasuk pokok-pokok Islam : bahwa wajib meyakini kafirnya setiap orang yang tidak masuk ke dalam Islam. Baik dari kalangan Yahudi, Nashara maupun selainnya. Dan menyebutnya sebagai orang kafir. Orang tersebut adalah musuh Allah, rasul-¬Nya dan kaum muslimin, serta termasuk penduduk neraka, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman :
“Orang-orang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka jahannam, mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. “(Al Bayyinah : 6).
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim, bahwasanya Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
“Dan demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangan¬Nya, tidaklah mendengar salah seorang dari kalangan umat ini, Yahudi maupun Nashrani, kemudian dia mati dan tidak beriman dengan yang aku diutus dengannya (agama Islam), melainkan dia termasuk penghuni api neraka. “
Oleh karena itu, barangsiapa yang tidak mengkafirkan Yahudi dan Nashara berarti dia kafir, sesuai dengan kaidah sya’riat :( Barangsiapa tidak (menvonis) kekafiran kaum kafir berarti dia (dianggap) Kafir).
Ke’enam:
Sehubungan dengan adanya pokok-pokok keyakinan dan hakikat-hakikat syari’at ini, maka sesungguhnya seruan kepada sinkretisme agama dan pola pendekatan antara agama tersebut lalu menggabungkannya dalam satu kesatuan merupakan propaganda dan makar yang sangat keji. Misi propaganda tersebut adalah men-campuraduk-kan antara kebenaran dan kebatilan, menghancurkan Islam, merobohkan sendi-sendinya, serta menggiring pengikutnya kepada kemurtadan yang menyeluruh. Hal ini dibenarkan oleh firman Allah yang Maha Suci :
“Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran) seandainya mereka sanggup. ‘(AI Baqarah : 217).
Allah Ta’ala berfirman :
“Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka).” (An Nisa : 89).
Ketujuh :
Sesungguhnya pengaruh dari propaganda buruk ini adalah dikorbankannya prinsip yang membedakan antara Islam dengan Kafir, antara yang hak dengan yang batil, kebaikan dengan kemungkaran, serta meruntuhkan batas pemisah antara kaum muslimin dengan kaum kafir. Sehingga tidak ada lagi wala’ (loyalitas) baro’ (kebencian), serta tidak ada lagi seruan jihad dan berperang untuk meninggikan kalimatullah di muka bumi ini. Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Suci berfirman :
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul¬-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. “(At Taubah : 29).
Dan Allah Azza Wa Jalla berfirman :
“Perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi kamu semuanya. Dan ketahuilah bahwasanya ‘Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (At Taubah : 36)
Kedelapan :
Bahwasanya propaganda sinkretisme agama, jika bersumber dari seorang muslim, maka dia dianggap secara jelas telah murtad. Karena perkara tersebut bertentangan dengan pokok-pokok keyakinan agama Islam. Propaganda tersebut meridhoi kekafiran kepada Allah dan menganggap batilnya kebenaran Al-Qur’an clan keberadaannya sebagai penghapus kitab-kitab terdahulu. Sekaligus membatalkan agama Islam sebagai penghapus segenap syari’at dan agama sebelumnya. Semua ini dibangun di atas pemahaman yang rusak, dan diharamkan secara pasti dengan seluruh dalil-dalil syari’at dari Al Qur’an dan As Sunnah serta ijma’ (Kesepakatan umat).
Kesembilan :
Maka berdasarkan pernyataan di atas :
1. Sesungguhnya tidak boleh bagi seorang muslim -yang beriman kepada Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama yang benar dan Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam sebagai nabi dan rasul- menyeru kepada pemahaman keji tersebut. Menyebarkannya diantara kaum muslimin, terlebih lagi menyambut seruan itu. Kemudian mengikuti muktamar, seminar, serta perkumpulan mereka.
2. Tidak boleh bagi seorang muslim mencetak Taurat dan Injil, terlebih lagi digabung dengan Al Qur’an AI Karim dalam satu cetakan !!. Barangsiapa yang melakukan atau menyeru untuk melakukannya, maka dia berada dalam kesesatan yang jauh. Sebab dengan perbuatan tersebut, berarti menggabungkan antara kitab yang hak (yaitu Al Qur’an Al Karim) dengan Al Muharrif (kitab yang telah diubah-ubah) atau dengan kitab yang telah dihapus (yaitu Taurat dan Injil).
3. Tidak dibenarkan bagi setiap muslim menyambut seruan untuk membangun masjid, gereja dan tempat peribadahan Yahudi dalam satu kawasan. Karena hal ini sama saja menggabungkan antara agama yang menyembah Allah, dengan agama selainnya dan mengingkari keunggulan agama Islam atas selainnya. Serta tidak boleh menyeru bahwa ada tiga agama sah bagi penduduk bumi, yang mereka boleh untuk memilih salah satunya. Kemudian meyakini bahwa semua agama tersebut berada di atas satu pijakan, sedangkan Islam bukanlah agama yang menghapus agama-agama sebelumnya. Maka tidak diragukan lagi bahwa ketetapan, keyakinan, atau senang dengan pemahaman seperti itu adalah kafir dan sesat. Karena hal tersebut merupakan penyelisihan yang sangat jelas terhadap Al Qur’an Al Karim dan As Sunnah yang suci serta ijma’ kaum muslimin. Dan berkeyakinan bahwa perubahan agama Yahudi dan Nashara berasal dari sisi Allah. Maha Suci Allah dari yang demikian itu. Begitu pula tidak boleh menggelari gereja-gereja sebagai rumah Allah! dan menyakini para pemeluknya beribadah dengan peribadahan yang benar lagi diterima di sisi Allah. Karena sesungguhnya peribadahan yang mereka lakukan tersebut, tidak berdasarkan ajaran Islam. Allah Ta’ala berfirman :
“Dan barangsiapa yang mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima darinya (agama itu). Dan di akhirat dia termasuk orang-orangyang merugi. ” (Ali lmron: 85).
Bahkan gereja-gereja itu adalah rumah-rumah tempat Allah dikufuri. Kita berlindung dari kekafiran dan pengikutnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah Ta’ala berkata : di dalam Majmu’ Fatawa (22/162) : “(Bahwa) gereja dan tempat ibadah kaum Yahudi bukanlah rumah-rumah Allah. Sesungguhnya rumah-rumah Allah adalah masjid¬-masjid. Bahkan gereja adalah rumah yang Allah dikufuri padanya, walaupun dijuluki sebagai rumah Allah. Rumah-¬rumah ibadah tersebut sebanding dengan para pemeluknya. Sedangkan pemeluknya adalah kaum kafir, maka rumah- ¬rumah itu adalah rumah ibadah kaum kafir.”
Kesepuluh :
Termasuk perkara yang harus diketahui, bahwa berdakwah terhadap kaum kafir secara umum dan ahli kitab secara khusus, adalah kewajiban atas kaum muslimin berdasarkan nash-nash yang jelas dariAl Qur’an danAs Sunnah. Akan tetapi perkara tersebut tidak dapat terwujud kecuali melalui metode bayan (menjelaskan kebenaran) dan memberikan argumentasi dengan cara yang lebih baik Tanpa mengorbankan prinsip-prinsip syari’at Islam. Hal itu dilakukan agar mereka mau menerima Islam dan berkenan memeluknya. Atau dengan cara menegakkan hujjah (bukti) untuk mematahkan alasan mereka dan menyelamatkan orang-orang yang menerima kebenaran. Allah Ta’ala berfirman :
“Katakanlah : “Wahai Ahli kitab, marilah (berpegang) pada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah kecuali hanya kepada Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak pula sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka : “Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri kepada (Allah). “(Ali lmron : 64).
Adapun dialog, adu argumentasi dan berkumpul bersama mereka dalam rangka mentolelir keinginan hawa nafsu mereka, melanggengkan misi makar mereka, serta mencari-cari kelemahan Islam dan merapuhkan pondasi keimanan ; maka hal itu adalah suatu kebatilan. Maka Allah, rasul-Nya dan kaum muslimin berlepas diri darinya. Kepada Allah lah kita memohon pertolongan atas apa yang mereka sifatkan. Allah Ta’ala berfirman :
“Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkanAllah kepadamu.”(AI Maidah :49).
Demikianlah Lajnah menetapkan dan menjelaskan perkara-perkara di atas. Maka Lajnah memberikan nasehat kepada kaum muslimin secara umum dan Ahli Ilmu secara khusus, supaya bertakwa kepada Allah, merasa diawasi oleh-¬Nya, menjaga Islam serta memelihara akidah kaum muslimin dari kesesatan dan penyeru kesesatan, juga dari kekafiran dan pemeluknya. Lajnah memperingatkan mereka dari seruan kekafiran yang sesat ini (sinkretisme agama), dan dari terjatuh ke dalam kubang kebinasaan. Kita memohon perlindungan kepada Allah, agar setiap muslim tidak menjadi sebab masuknya kesesatan ini ke negeri-negeri kaum muslimin dan tidak menyebarkannya di tengah-tengah mereka. Kita memohon kepada Allah yang Maha Suci dengan nama-namaNya yang husna dan sifat-sifat-Nya yang Maha Tinggi agar melindungi kita semua dari berbagai fitnah kesesatan. Dan agar menjadikan kita termasuk orang yang memberi penjelasan kepada hidayah Allah dan sebagai pembela Islam di atas petunjuk dan cahaya dari Rabb kita sampai kita menjumpai-Nya dalam keadaan diridhoi¬-Nya.
Wabillahi taufik, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada nabi kita Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam, beserta keluarga dan para shahabat.
Dewan Fatwa Ulama dan Riset Ilmiyah Arab Saudi
Ketua :
Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz
Wakil Ketua :
Abdul Aziz bin Abdillah Alu Syaikh
Anggota :
Sholeh bin Fauzan Al Fauzan
Anggota :
Bakr bin Abdillah Abu Zaid
Judul Asli : Tsalatsu Fatawa Muhimmah
Judul Edisi Indonesia : Awas Kristenisasi & Bahaya Seruan Sinkretisme Agama, Penerbit : Darul Ilmi Yogyakarta
READ MORE - Propaganda Sinkretisme Agama