Laman

بسم الله الرحمان الرحيم Ibnu Mas’ud tentang pengertian Al Jamaah : “Al Jamaah adalah sesuatu yang mencocoki Al Haq walaupun engkau sendiri (yang mengikutinya).” (Riwayat Al Laalikaiy dari Ibnu Mas’ud dalam Kitab As Sunnah dan Abu Syamah dalam Al Ba’its ‘Ala Inkari Bida’ Wal Hawaadits halaman 22 dan Ibnul Qayyim dalam Kitab Ighatsatul Lahfan halaman 1/70)

08 Mei 2010

Nasihat untuk Pembongkar Aib Penguasa, semoga Allah mengampuni kita dan mempertemukan kita di jannah-Nya

Di antara ajaran syariat Islam yang sempurna ini adalah kita dilarang membongkar aib penguasa Muslim di depan masyarakat umum, ini berdasarkan banyak hadis di antaranya


Bersabda Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Penguasa adalah naungan Allah di muka bumi maka barangsiapa yang menghinakan penguasa maka Allah akan menghinakannya, barangsiapa yang memuliakan penguasa maka Allah akan memuliakannya.” (HR. Ibnu Abi Ashim, Ahmad, At Thayalisi, At Tirmidzi, dan Ibnu Hibban. Dishahihkan Al Albani dalam Adz Dzilal)

Bersabda Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa maka janganlah melakukannya dengan terang-terangan di hadapan umum. Akan tetapi dengan cara mengambil tangan penguasa tersebut dan menyendiri. Jika ia menerimanya maka inilah yang diharapkan, jika tidak menerimanya maka ia telah melakukan kewajibannya.” (HR. Ahmad, Ibnu Abi Ashim, Al Hakim, dan Baihaqi. Dishahihkan Al Albani dalam Adz Dzilal)

Di antara sekte-sekte khawarij ada sebuah kelompok yang dinamakan Al Qa’adiyyah. mereka adalah orang-orang yang keluar dari garis ketaatan (memberontak) kepada penguasa Muslim dengan menggunakan lisan seraya menyembunyikan upaya pemberontakan bersenjata, namun mereka memprovokasi umat agar umat menentang penguasanya.
Seorang ulama besar bernama AL Imam Al Hafidz Ibnu Hajar berkata: “kelompok Al Qa’d adalah salah satu sekte kelompok Al Khawarij yang mereka dahulu tidak pernah terlihat melakukan pemberontakan dengan senjata. Namun mereka selalu berupaya menentang para penguasa yang zhalim atau penguasa yanag kejam semaksimal kemampuan mereka, dan mengajak (umat) kepada paham mereka. Bersama dengan itu mereka selalu mempropagandakan penentangan itu.” (Tahdzibut Tahdzib)

Beliau juga berkata: “Al Qa’adiyyah adalah orang-orang yang selalu mempropagandakan pemberontakan terhadap penguasa, namun mereka tidak melakukannya secara langsung.” (Hadyus sari Muqaddimah Fathul Bari)

Al Imam Abu Dawud dalam kitab beliau yang berjudul Masa’il Al Imam Ahmad berkata: dari seorang ulama besar yang bernama Abdullah bin Muhammad Adh Dha’if, ia berkata: “kelompok Qa’adul khawarij adalah kelompok khawarij yang paling jahat.”

Tidaklah kaum khawarij melakukan pemberontakan dengan senjata terhadap penguasa kecuali setelah melalui tahapan pengkafiran terlebih dahulu terhadap penguasa tersebut dan jajaran pemerintahannya, serta semua pihak yang bekerja sama dengan penguasa tersebut. Hal ini karena khawarij tersebut melakukan pengkafiran dengan sebab dosa besar sebelum mereka bergerak untuk melakukan pembunuhan dan pemberontakan.
mari kita simak kisah Kaum Khawarij ketika membunuh Khalifah Utsman bin Affan:
Telah diriwayatkan oleh AL Imam Ath Thabari dalam kitab At Tarikh dari AMir bin Sa’ad, ia berkata:
” Orang pertama yang telah berani menentang Khalifah Utsman bin Affan dengan statemen-statemen yang provokatif adlah seorang yang bernama Jabalah bin ‘Amr As Sa’idi. Pada suatu hari Khalifah ‘Utsman bin Affan lewat di hadapannya, yang ketika itu dia (Jabalah) sedang duduk-duduk di tengah-tengah kaumnya dalam keadaanya memegang sebuah belenggu. maka ketika Khalifah bin Affan di hadapan mereka, beliau mengucapkan salam, dan kaum itu pun membalas salam tersebut. kemudian berkatalah Jabalah kepada kaumnya: “kenapa kalian membalas salam seseorang yang telah berbuat begini dan begitu.(Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Utsman dituduh melakukan nepotisme dan penyelewengan harta kas negara dan kedzaliman lain hingga kurang lebih 18 tuduhan,yang ini semua dimunculkan oleh yahudi bernama Abdullah bin Saba’) kemudian orang tadi datang menemui Utsman seraya berkata:”Demi Allah, saya kan kalungkan belenggu ini di lehermu atau kau pecat para menterimu itu.!” lalu Utsman Menjawab: “Siapa yang engkau maksud? Demi Allah, aku telah sangat selektif dalam memilih orang (pejabat).” Jabalah berkata: “Orang semacam Marwan kau telah selektif memilihnya?! Orang semacam Mu’awiyah kau telah selektif dalm memilihnya?! orang semacam Abdulllah bin AMir binh Kuraiz kau telah selektif memilihnya?! maka khalifah Utsman bin Affan segera berpaling dari kaum tersebut. sejak kejadian itulah manusia telah berani lancang dalam menghina Khalifah Utsman bin Affan hingga hari ini.”

Sungguh pencelaan kepada para sahabat Rasulullah adalah kesesatan yang nyata, Rasulullah bersabda “Janganlah kalian mencela seorang pun dari sahabatku. Sesungguhnya jika salah seorang diantara kalian berinfaq emas sebesar gunung Uhud, tidak lah bisa menyamai (nilai) infaq salah seorang dari mereka sebanyak satu mud, bahkan tidak pula separuhnya.”(HR Bukhari)

yang patut disayangkan adalah pernyataan Hizbut Tahrir yang mengkafirkan negeri-negeri Islam: “Kondisi kaum Muslimin saat ini, yang hidup di darul kufur, karena mereka menerapkan sistem hukum selain dari apa yang diturunkan Allah maka keadaan negeri mereka serupa dengan negeri makkah pada masa diutusnya Rasulullah.”(Dari buku Mengenal Hizbut tahrir Partai Politik Islam Ideologis hal 21)

Bahkan dalam perkataan tokoh besar Hizbut tahrir sekaligus pendirinya bernama Taqiyuddin An Nabhani dalam bukunya yang telah diterjemahkan dalam bahsa Indonesia dengan judul Terjun ke Masyarakat hal 7, ia mengatakan: “…melainkan dengan menyerang seluruh bentuk interaksi yang berlangsung antara penguasa dengan rakyatnya harus digoyang dengan kekuatan penuh, dengan cara diserang sekuat-kuatnya dengan penuh keberanian.”

Padahal ada hadis Dari Wail bin Hujr radliyallahu ‘anhu berkata : Kami bertanya : “Ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika penguasa kami merampas hak-hak kami dan meminta hak-hak mereka?” Bersabda beliau : “Mendengar dan taatlah kalian pada mereka maka sesungguhnya bagi merekalah balasan amalan mereka dan bagi kalianlah pahala atas kesabaran kalian.” (HR. Muslim)

tentang berhukum dengan selain hukum Allah, maka penjelasannya sebagai berikut:
“Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 44)

Ayat Allah yang mulia ini telah ditafsirkan oleh ahli tafsir dari kalangan shahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yaitu Abdullah bin ‘Abbas . Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir At-Thabari rahimahullah dengan sanad yang shahih dari Ibnu Abbas beliau berkata: “Dengannya (perbuatan itu) adalah kekafiran, NAMUN BUKAN KAFIR TERHADAP ALLAH, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan para Rasul-Nya.”
Dalam riwayat lain beliau berkata: “Bukan (yang dimaksud) adalah kekufuran yang mereka inginkan. Sesungguhnya (ayat ini) bukan kekufuran yang mengeluarkan dari agama, (namun) kufrun duna kufrin (kekufuran di bawah kekufuran, yaitu tidak mengeluarkan dari Islam).” (Dikeluarkan oleh Al-Hakim dan berkata: sanadnya shahih, dan disetujui oleh Adz-Dzahabi. Terdapat jalan lain, silakan lihat dalam Silsilah Ash-Shahihah karangan Al-’Allamah Al-Albani)

Al-’Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah Ta’ala berkata setelah menjelaskan sebab kesesatan: “Jika engkau telah mengetahui hal ini, maka tidak boleh membawa ayat-ayat ini kepada sebagian pemerintah kaum muslimin dan para hakim mereka yang berhukum dengan selain yang diturunkan Allah berupa undang-undang buatan manusia. Saya berkata: tidak boleh mengkafirkan mereka dan mengeluarkannya dari agama, jika mereka beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.Walaupun mereka berdosa dengan sebab berhukum dengan selain yang diturunkan Allah. Sebab walaupun mereka seperti Yahudi dari sisi berhukum tersebut, namun mereka menyelisihinya dari sisi yang lain, yaitu keimanan mereka dan pembenaran mereka dengan apa yang diturunkan Allah. Berbeda dengan Yahudi yang kafir, mereka mengingkari (hukum Allah).”

Beliau berkata pula: “Kekufuran terbagai menjadi dua macam: kufur i’tiqadi dan amali. Adapun i’tiqadi tempatnya di hati, sedangkan amali tempatnya di jasmani. Barangsiapa yang amalannya kufur karena menyelisihi syariat dan sesuai dengan apa yang diyakini dalam hatinya berupa kekafiran, maka itu kufur i’tiqadi yang tidak diampuni Allah dan dikekalkan pelakunya dalam neraka selamanya. Adapun bila perbuatan tersebut menyelisihi yang diyakini dalam hati, maka dia mukmin dengan hukum Rabb-nya. Namun penyelisihannya dalam hal amalan, maka kekafiran adalah amali saja dan bukan kufur i’tiqadi. Dia berada di bawah kehendak Allah, jika Dia menghendaki maka disiksa dan jika Dia menghendaki maka diampuni. (lihat Silsilah Ash-Shahihah karya Al-’Allamah Al-Albani)

Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah

Mereka ditanya: “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah apakah dia muslim atau kafir kufur akbar (yang mengeluarkan dari Islam) dan tidak diterima amalannya?’
Mereka menjawab: Allah berfirman (yang artinya): “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (Al-Maidah: 44)
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka adalah orang-orang yang dzalim.” (Al-Maidah: 45)
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (Al-Maidah: 47)
Namun apabila dia meyakini halalnya hal tersebut dan meyakini bolehnya maka ini kufur akbar, dzalim akbar dan fasiq akbar yang mengeluarkan dari agama. Adapun jika dia melakukan itu karena sogokan atau karena maksud lain, dan dia meyakini haramnya hal tersebut, maka dia berdosa, termasuk kufur ashgar, dzalim ashgar, dan fasiq ashgar yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut.
Semoga Allah memberi taufiq, dan shalawat serta salam dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan para shahabatnya.

Atas nama:
Ketua: Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz
Wakil ketua: Syiaikh Abdurrazzaq ‘Afifi
Anggota: Syaikh Abdullah Ghudayyan
(Lihat Fitnatut Takfir)


_dinukil dari catatan: Abu Muhammad Mu’awiyyah -hafizhahulloh-_