Laman

بسم الله الرحمان الرحيم Ibnu Mas’ud tentang pengertian Al Jamaah : “Al Jamaah adalah sesuatu yang mencocoki Al Haq walaupun engkau sendiri (yang mengikutinya).” (Riwayat Al Laalikaiy dari Ibnu Mas’ud dalam Kitab As Sunnah dan Abu Syamah dalam Al Ba’its ‘Ala Inkari Bida’ Wal Hawaadits halaman 22 dan Ibnul Qayyim dalam Kitab Ighatsatul Lahfan halaman 1/70)

08 Mei 2010

RUJUK KEPADA KEBENARAN ADALAH CIRI AHLUS-SUNNAH

Muhammad Umar As-Sewed

Berikut ini adalah pernyataan rujuknya para asatidzah dari kesalahan masa lalu ketika masih terlibat dalam Laskar Jihad. Pernyataan ini juga sekaligus sebagai bantahan syubhat para hizbiyun (termasuk Wahdah Islamiyah) yang senantiasa menggunakan dalil tentang bentuk kesalahan yang dilakukan para salafiyyin pada masa lalu ketika berkecimpung di dalam Laskar Jihad. Ini juga menjadi salah satu bukti bahwa Rujuk kepada Kebenaran adalah jalannya para salafush shalih dari generasi sahabat, tabi’in, tabi’ut-tabi’in, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan istiqomah hingga hari ini. Bukanlah termasuk para pengikut salaf jika sudah sampai kepadanya sebuah kebenaran kemudian masih ada jalan lain untuk mengelak dari kebenaran tersebut dengan alasan toleransi, muwazanah (manhaj timbangan), dan jalan lain yang berusaha dibuat-buat untuk dijadikan sebagai “lahan” dakwah bagi organisasinya (MAYORITAS untuk KOMUNITAS). Allahu musta’an.
================

Dakwah Salafiyah sejak dulu tidak pernah terikat dengan pribadi manapun kecuali Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam. Dakwah Salafiyah juga tidak pernah terikat dengan organisasi apapun. Dakwah ini hanya terikat dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah diatas pemahaman para shahabat Radiyallahu ‘Anhum dan seluruh Salafush Shalih yang dibawa para Ulama Ahlus Sunnah.

Pengikut dakwah Salaf Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang paling bersemangat untuk mengkaji ilmu dan mengamalkannya di atas sumber-sumber tersebut. Karena itu, mereka senantiasa berjalan di atas ilmu dan bimbingan para ulama.
Namun para Salafiyyun (pengikut dakwah Salafiyah) bukanlah orang-orang yang ma’shum yang terbebas dari kesalahan. Mereka sangat mungkin untuk tergelincir ke dalam berbagai kesalahan dan penyimpangan. Dan sebagai realisasi dari sikap tunduk mereka di hadapan kebenaran, setiap terjadi penyimpangan dari jalan yang lurus atau penentangan terhadap ulama, segeralah mereka saling mengingatkan dan meluruskannya. Sehingga kritik, koreksi, teguran atau bantahan ilmiah adalah sesuatu yang sangat wajar dalam sejarah perjalanan dakwah ini. Sebaliknya, sikap taqlid, membebek dan ikut-ikutan sama sekali tidak dikenal oleh Ahlus Sunnah dan Salafiyyun.

Hidupnya budaya kritik ilmiah akan memperlihatkan siapa yang benar-benar berdiri sebagai Ahlus Sunnah dan siapa yang hanya ikut-ikutan. Bagi mereka yang menolak kritik dan tidak mau rujuk kepada kebenaran, maka mereka adalah pengikut hawa nafsu atau ahlul ahwa. Bagi Ahlus Sunnah, teguran dan kritik akan segera membawa kembali kepada al-haq. Sedangkan pengikut hawanafsu, mereka akan menentang ilmu dan nasehat ulama dengan berbagai alasan. Mereka berani menarik-narik makna ayat dan hadits agar mencocoki hawa nafsu, bahkan berani mencela para ulama agar ditolak fatwanya.

Dengan prinsip ini, maka kami membuat pernyataan rujuk kepada kebenaran dan kembali kepada prinsip dakwah Salafiyyah setelah kami mengalami berbagai ketergelinciran. Yaitu saat kami menjalani jihad di Ambon dan Poso, karena dalam jihad tersebut kami banyak terjatuh pada penyimpangan-penyimpangan yang sifatnya politis ataupun penyimpangan-penyimpangan lain yang tidak sejalan dengan Manhaj Salaf.
Tanpa terasa kami terjerumus ke dalam berbagai penyimpangan yang bermuara pada satu titik yaitu politik massa atau penggunaan potensi massa dalam perjuangan. Sungguh kesesatan seprti inilah yang terjadi pada Ahlul Bid’ah dan Hizbiyyun dari kalangan Ikhwanul Muslimin, Quthbiyyin (pengikut Sayyid Quthb) dan Sururiyyin (Pengikut Muhammad Surur) dan lain-lain:

Dengan penyimpangan yang kami jalani saat itu, muncullah tindakan-tindakan persis seperti yang dilakukan Ikhwanul Muslimin, diantaranya :

1. Sistem komando yang meluas menjadi organisasi yang digerakkan dengan sistem imarah dan bai’at.
2. Leih mementingkan kuantitas (jumlah) daripada kualitas dalam organisasi.
3. Demonstrasi, unjuk rasa dan yang sejenisnya menjadi hal yang biasa.
4. Mencari dukungan politis dari berbagai kelompok dengan tidak memperhatikan apakah mereka Ahlus Sunnah, orang awam atau Ahlul Bid’ah
5. Dari sinilah timbul ide untuk mengadakan Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) dengan mengundang tokoh-tokoh politik dan Ahlul Bid’ah.
6. Mulai menggampangkan dusta dengan dalih bahwa perang adalah tipu daya.
7. Bermudah-mudahan dalam maksiat seperti photografi dan ikhtilath karena mengimbangi orang awam.
8. Mengingkari kemungkaran dengan menggunakan gerakan massa dan kekerasan, yang akhirnya jatuh ke dalam kesalahan berikutnya yaitu :
* Menghalalkan darah kaum muslmin.
* Melawan aparat atau pemerintah yang sah
* Dan seterusnya.

Kemudian datanglah teguran dari para ulama dengan harapan agar kami kembali kepada Manhaj Salaf dalam dakwah dan jihad serta membubarkan diri dari Forum Komunikasi Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (FKAWJ) dan Laskar Jihadnya (LJ). Maka karena kami memulai Jihad ini dengan bimbingan para, maka saat harus membubarkan diri juga harus dengan bimbingan para ulama.

Tidak cukup hanya dengan membubarkan diri dan meniggalkan penyimpangan-penyimpangan yang kami telah terjerumus padanya, namun kami mempunyai kewajiban untuk menerangkan kepada masyarakat bahwa apa yang kamil lakukan dulu bukan dari Manhaj Salaf. Karena ketika itu kita mengibarkan bendera Dakwah Salafiyyah dan Ahlus Sunnah, maka kami khawatir penyimpangan-penyimpangan tersebut dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai bagian dari Dakwah Salafiyyah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Inilah sesungguhnya yang paling penting !
Untuk itulah saya, sebagai salah satu (mantan) dari Dewan Ustadz di FKAWJ yang membawahi LJ, menerjemahkan buku yang berjudul Al-Wardu Maqtuf fi Wujubi Tha’ati Wulati Amril Muslimin Bil Ma’ruf yang ditulis oleh Syaikh Abu Abdirrahman Fauzi Al-Atsari(*) yang berisi tentang bagaimana seharusnya seorang Salafy Ahlus Sunnah bersikap kepada penguasanya. Ini merupakan salah satu sikap rujuk kami.
Di dalam buku ini dimuat prinsip-prinsip Ahlus Sunnah yang berkaitan dengan tata cara memberi nasehat dan beramar ma’ruf nahi mungkar kepada penguasa. Juga diterangkan tentang kewajiban taat kepada penguasa selama perintahnya bukan berupa kemaksiatan. Mudah-mudahan dengan ini kita telah melaksanakan kewajiban yang Allah perintahkan kepada orang yang terjatuh dalam kesalahan dan penyimpangan, sebagaimana firman-Nya.

“Kecuali jika mereka bertaubat, memperbaiki, dan menerangkan maka mereka itu Aku akan mengampuninya” (Al-Baqarah : 160)
Dengan demikian apa yang telah kami lakukan, yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Manhaj Salaf, kami bertaubat kepada Allah dan menyatakan dengan tegas bahwa itu bukan Manhaj Ahlus Sunnah, tetapi kekeliruan dan ketergelinciran kami. Hujjah tetap pada Al-Quran dan As-Sunnah, bukan pada apa yang dilakukan oleh FKAWJ atau LJ atau siapapun yang mengaku sebagai Ahlus Sunnah.
Akhirnya, kami berharap kepada Allah agar mengampuni kita semua. Menerima amal ibadah dan jihad kita dan membalasnya dengan kebaikan-kebaikan dan jannah. Juga kami memohon maaf kepada semua pihak dari kaum muslimin umumnya dan Salafiyyin khususnya atas kesalahan kami pada masa itu.
Sumber : Muqaddimah Meredam Amarah terhadap Pemerintah, terbitan Pustaka Sumayyah, Cetakan Pertama, Muharram 1427
H/Februari 2006


*) Catatan Penting
Pernyataan taubat ini sesungguhnya telah lama saya tulis, namun sayang sekali karena satu dan lain hal buku yang memuat taubat tersebut tak kunjung
diterbitkan oleh Maktabah Salafy Press, sampai dengan tutupnya penerbit Maktabah Salafy Press.
Alhamdulillah, buku tersebut akhirnya diterbitkan oleh Pustaka Sumayyah. Namun sangat disayangkan kembali terlambatnya penerbitan buku terjemah ini
sampai pada waktu penulisnya (Syaikh Fauzi Al Atsary) mendapatkan teguran dari syaikh Rabi’ ibn Hadi al Madkhali, (dari Sahab.net).

Mengingat buku ini adalah buku yang bagus dan dipuji syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat kaum muslimin secara
umum dan khususnya orang-orang yang sedang berupaya menelusuri jejak Sunnah, maka saya menerjemahkannya sebagai teguran dan perbaikan terhadap
kesalahan-kesalahan yang pernah kami lakukan di masa Laskar Jihad, bahkan kami memuat waktu itu pujian-pujian para ulama pada penulis buku tersebut.
Maka dengan catatan ini saya menyatakan berlepas diri dari kesalahan dan penyimpangan Syaikh Fauzi Al Atsary yang terjadi kemudian.
(islamnation.com)